Kuliah Swadana di Lithuania a la Misha Johanna

Gue selalu kagum sama orang-orang yang bisa kuliah di luar negeri secara swadana tanpa biaya dari orang tua. Dulu, kuliah di luar negeri buat gue itu terdengar seperti sesuatu yang mahal banget dan nggak mungkin dilakukan kalangan ekonomi menengah kaya gue. Cuma beasiswa kayanya yang bisa bikin gue bisa kuliah di luar negeri. Jadi begitu gue kenal sama Misha beberapa bulan lalu, gue langsung kepincut sama profilnya, dan kegigihannya sampe bisa kuliah dan tinggal di Vilnius, ibukota Lithuania, dengan biaya sendiri alias swadana.

Gue colong-colong kesempatan untuk nanya-nanya dikit sama dia soal itu.

Misha! Sebelum kita ngobrol-ngobrol lebih jauh, gimana kalo kamu ngenalin diri secara singkat dulu?

Halo! Aku Misha – Januari 2021 lalu baru lulus S2 dari Vilnius University, Lithuania, untuk program Eastern European & Russian Studies. Selama masih kuliah kemarin, aku juga menginisiasi terbentuknya PPI Lithuania. Saat ini anggota kami masih belum begitu banyak, tapi aku harap dengan adanya @ppilithuania di Instagram, banyak teman lain di Indonesia yang bisa tahu tentang Lithuania dan mendapatkan info mengenai perkuliahan di sini šŸ™‚

Eh lucu banget Eastern European & Russian Studies. Kenapa jurusan itu? Sekalian juga, kenapa Vilnius University dan kenapa Lithuania?

Dimulai dari kenapa Lithuania dulu kali ya. Jadi, pacarku orang Lithuania – haha alasan klasik ya ini šŸ™‚ Pertama ke Lithuania itu summer 2018 karena ngunjungin dia dan keluarganya. Aku stay 3 bulan di sini dan di bulan terakhir aku ikut summer course untuk belajar bahasa Lithuania di Vilnius University. Karena ikut summer course itu aku jadi jatuh cinta sama universitasnya yang cantik dan juga kota Vilnius-nya sendiri yang super cozy and quirky. Dari situlah aku mulai ada keinginan untuk balik dan sekalian ngambil S2 di sini. Pas aku browsing program S2 apa aja di Vilnius University yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris, aku langsung tertarik sama program Eastern European & Russian Studies ini.

Program ini masuk ke fakultas International Relations & Political Science mereka, dan background S1 aku sebenernya Psikologi (dan background kerjaan juga beda lagi, di perhotelan dan di tech startup :D), tapi ini gak bikin aku ragu karena aku punya alasan sendiri kenapa aku mau ambil program ini:

  1. Ada 2 study trips yang included dalam program ini (walau akhirnya waktu itu gak jadi ke mana-mana gara-gara pendemiā€¦ ha!).
  2. Sebelumnya aku udah sempet Euro trip di tahun 2016 dan pergi ke cukup banyak negara di benua Eropa – tapi aku sadar bahwa ternyata aku hampir gak ke negara di Eropa Timur sama sekali. Aku jadi mikir – kayaknya emang orang kalo mikir Eropa kebanyakan cuma akan tahu tentang negara-negara di Eropa Barat deh, atau paling maksimal ya Eropa Utara atau Selatan. Jarang yang ngomongin atau even pernah denger nama-nama negara di Eropa Timur kan?

Jadi di situlah motivasi aku – ingin jadi salah satu dari (mungkin) sedikit orang (at least dari Indonesia) yang punya extensive knowledge mengenai region ini. So, dari akhir 2018 itu aku udah apply ke program dan universitasnya, dan singkat cerita – Januari 2019 aku udah dapet letter of acceptance dan Agustus 2019 akhirnya pindah ke Lithuania deh untuk mulai studi.

Kita kan mau ngomongin kuliah swadana nih, nah sebelum itu, aku mau nanya, kamu setuju ga sih sama pendapat orang-orang yang bilang kalo kuliah di luar negeri itu modalnya gede dan kita (atau ortu kita) harus punya duit banyak untuk bisa melakukan itu?

Aku setuju! Tanpa beasiswa penuh (di mana tuition fees dan living allowance biasanya di-cover), kuliah swadana memang butuh biaya yang cukup signifikan – setidaknya di Eropa secara umum. Tapi, walau modalnya gede, bukan berarti ā€˜impossibleā€™ atau lebih gede dari Indonesia nih. Untuk teman-teman yang udah sering cari info tentang kuliah di Eropa, mungkin udah tahu ya kalau ada beberapa negara Eropa yang membebaskan tuition fee. Ini bukan beasiswa tapi memang beneran gratis. Kita tinggal tanggung biaya hidup kita sendiri, gak perlu bayar universitasnya.

Nah, kalau Lithuania sendiri bukan termasuk negara yang bebas tuition fee, tapi termasuk negara EU (dan Schengen) dengan biaya pendidikan + hidup yang cukup affordable, daaannn tuition fee untuk mahasiswa EU/EEA dan mahasiswa non-EU/EEA tidak dibedakan! Mungkin teman-teman udah pernah lihat juga perbandingan tuition fee mahasiswa EU/EEA dan non-EU/EEA di beberapa negara Eropa yang menerapkan perbedaan ini. Yang aku sering lihat, rata-rata mahasiswa non-EU/EEA harus membayar 7x lipat lebih mahal dari mahasiswa EU/EEA! Ini karena di beberapa negara tsb, mahasiswa non-EU/EEA-nya tidak dapat subsidi pendidikan dari pemerintah lokalnya, kira-kira begitu.

Ini salah satu alasan kenapa aku memutuskan untuk kuliah swadana di Lithuania – selain karena (tentunya) tertarik dengan program S2-nya dan udah click sama kotanya (Vilnius), aku merasa dengan tidak dibedakannya tuition fee antara mahasiswa EU/EEA dan non-EU/EEA ini justru membuat aku sadar bahwa biaya kuliah di Eropa itu sebenarnya kalau dihitung-hitung bisa lebih murah daripada biaya kuliah di Indonesia lho!Ā 

OK, tapi kembali ke pertanyaannya – ya, aku setuju bahwa kuliah di luar negeri itu modalnya gede – nah, tapi ini mostly karena: Kita biasanya harus menyiapkan dana untuk kuliah dan biaya hidup selama masa studi itu DI AWAL. Jadi gini, ketika kita misalnya sudah diterima di universitas yang mau kita tuju, langkah berikutnya adalah apply untuk visa kan? Saat apply untuk visa ini, kedutaan negara-negara Eropa biasanya akan meminta bukti bahwa kita punya dana yang cukup untuk membiayai kuliah dan living cost kita di negara mereka – at least untuk satu tahun pertama. Masing-masing negara Eropa punya requirement-nya sendiri-sendiri untuk berapa jumlah uang yang kita harus punya di rekening bank kita untuk bisa mendapatkan visanya.

Aku akan pakai Norwegia dan Jerman sebagai contoh – keduanya adalah negara Eropa yang public universities-nya bebas tuition fee. Norwegia mewajibkan kita untuk menyiapkan NOK 126,357 (atau kira-kira Rp. 202 juta pada saat artikel ini ditulis), sementara untuk Jerman kita perlu EUR 10,332 (atau sekitar Rp. 175 juta). Jumlah ini ditetapkan kedua negara tersebut karena dianggap sebagai estimasi biaya hidup mahasiswa di sana selama setahun. Bukti finansial ini gak bisa dipalsukan ya, karena kamu harus memasukkan jumlah yang diminta tsb ke rekening lokal di sana. Nantinya kamu bisa tarik uangnya setelah kamu sudah tiba di negara tujuan kamu dan memulai studinya. Setahuku, Norwegia tidak membatasi jumlah yang bisa kamu tarik per bulannya (harus hati-hati nih, jangan sampai kebablasan), sementara Jerman membatasi maksimal EUR 861 (atau sekitar Rp. 14,5 juta) per bulan.

Untuk Lithuania sendiri nih, jumlah yang harus kamu buktikan di rekeningmu (per 2021) adalah
= (minimal biaya hidup sebulan x 12 bulan) + bukti pembayaran semester pertama* + biaya tiket pesawat pulang
= (EUR 321 x 12 bulan) + EUR 1,600* + EUR 642
= EUR 3,336 + EUR 2,242
= EUR 5,578
= kurang lebih Rp. 95 juta

*Angka-angka di atas fix ditentukan oleh pemerintah Lithuania kecuali untuk bukti pembayaran semester pertama. Di sini aku pakai contoh biaya studi programku per semesternya. Lain program bisa lain harganya.

Aku pribadi, pas bikin visa dan berangkat tahun 2019 lalu, sekalian menyiapkan biaya untuk hidup 18 bulan instead of 12, plus tuition fee untuk 3 semester (karena program S2-ku 1,5 tahun) supaya gak usah ribet lagi pas extend izin tinggal di tahun kedua. Tapi ini gak wajib. Aku tentu akan recommend begini dan kalau bisa add some more money on top of it supaya jaga-jaga dan gak mepet banget (itā€™s for your own peace of mind), tapi kalau gak juga gak apa-apa karena pemerintah Lithuania hanya meminta bukti untuk setahun pertama. Mereka juga gak require uangnya untuk ditransfer dan dibekukan di rekening lokal – FYI.

Oh iya, teman-teman, fun fact – kuliah di Eropa itu biasanya gak ada ā€œuang masukā€. Tuition fee di sini ditetapkan per semester atau per tahun dan itu biasanya sudah termasuk semuanya, jadi jarang ada printilan semacam uang masuk tadi itu, atau uang gedung, uang buku, uang wisuda, dll. Paling kadang ada semacam biaya perpustakaan gitu, tapi lainnya jarang! Jadi secara umum biaya kuliah di Eropa jauh lebih transparan dan simple dibanding rincian biaya kuliah di Indonesia. Kamu cukup cek di website universitasnya dan biaya program-program yang ada akan dicantumkan secara jelas di situ.

Jadi kebayang kan ya, kenapa image kuliah di luar negeri itu mahal atau perlu modal gede? Karena itu tadi, kita harus sudah siap modal di awal. Sementara kalau kuliah swadana dan tinggal di Indonesia, walau ujung-ujungnya mungkin akan sekitar segitu juga habisnya, mungkin terasa lebih ringan karena kita gak diwajibkan punya dana keseluruhannya di depan. Yang kita butuhkan biasanya hanya biaya masuk dan biaya semester pertama aja, untuk biaya hidup bisa sambil go with the flow aja, universitas dalam negeri gak akan minta bukti rekening untuk ini šŸ˜€

Gila gila lengkap bangettt! Gue suka nih narasumber kaya gini. Oke, Ini pertanyaan utamanya nih: gimana kamu bisa kuliah swadana di Vilnius? Ga pake biaya dari ortu sama sekali ya denger-denger?

Yes, betul. Aku bersyukur banget bisa biayain semuanya sendiri, gak dari ortu (apalagi dari pacar – lol), tapi dari hasil tabungan aku kerja. Di sini aku gak akan jabarin personal income/savings or anything like that (karena ini tentu sangat tergantung masing-masing individu ya, gimana cara dan perhitungannya untuk nyiapin dana), tapi lebih ke strateginya. 

Jadi aku mulai cari uang itu dari SMA, jauh sebelum aku lulus S1 di tahun 2012 dulu. Pernah ada yang nanya, apakah aku kerja dari SMA itu untuk bantu keluarga. Jujur – gak, dulu aku kerja buat uang jajan sendiri aja. Sampai lulus S1, aku masih tinggal di rumah ortu dan kuliah pun dibiayai nyokap. Tapi menurutku sebenernya seseorang itu gak perlu juga lho sampe ada di posisi yang ā€˜terpaksaā€™ harus cari uang untuk mulai bekerja. Buat aku, kerja itu sebenernya untuk nyalurin hobi, ngasah bakat, belajar mandiri (terutama ngelola uang sendiri), dan yang paling penting nih: learn how to value and sell yourself.

Jadi saat lulus S1, ketika aku akhirnya keluar dari rumah ortu dan bener-bener mandiri secara finansial, aku gak pernah ngalamin yang namanya struggling cari kerja dan nawar gaji ā€œyang penting UMRā€ karena aku udah lewatin fase itu jauh sebelum aku lulus kuliah. Istilahnya di sini: curi start. Dengan beberapa kali pindah tempat kerja (dan juga pindah kota/negara), aku juga semakin tau cara ningkatin value aku di mata employer dan di waktu yang sama juga membuat setiap direct supervisor aku percaya sepenuhnya bahwa aku capable untuk bekerja secara mandiri dan remotely sejak tahun 2015. Aku juga tipe orang yang percaya bahwa sumber penghasilan kita itu gak boleh hanya satu aja, jadi dari zaman kuliah S1 dulu, aku pun udah terbiasa ambil multiple jobs/projects, ngegabungin beberapa part time jobs atau full time job dengan freelance projects. Aku sebenernya gak expert di bidang apapun, tapi aku comfortable mengerjakan berbagai hal yang berbeda karena aku selalu suka nyoba hal baru.

Dari hasil kerjaku itulah aku bisa mendanai diriku sendiri untuk hal-hal yang aku mau – in this case: trips and studies. Selain bekerja, ada beberapa hal penting yang aku selalu ingatkan diriku untuk lakukan, yaitu bikin planning dan budgeting. Menurutku, sebanyak-banyaknya pendapatan kita, kalo gak bisa planning dan budgeting, bakal ludes juga. Untuk budgeting nih, setauku persentase yang sering disarankan adalah 80-20, di mana 80% income kita pakai untuk biaya hidup sehari-hari, dana darurat, dsb; sementara 20% untuk ditabung. Nah, aku selalu nargetin kebalikannya – jadi 20% aja untuk biaya hidup dll, sementara 80%-nya ditabung šŸ˜€ OK, tentunya ini gak selalu terjadi ya, apalagi awal-awal kerja dulu, ketika pengalaman belum banyak dan pendapatan masih belum meningkat secara signifikan – tapi aku selalu usahakan, at the very least, aku tabung half of my income untuk hal-hal yang aku rencanakan untuk beberapa bulan/tahun ke depan. Sounds extreme? This is a way to discipline yourself, though. Punya target dan plan itu penting supaya ā€˜aktivitas menabungā€™ pun juga lebih terasa gunanya ketika kita tau mau kita pakai untuk apa ke depannya.

Nowadays, udah banyak banget info pengaturan keuangan yang bisa kamu dapatkan. Dulu aku belajar otodidak aja dan budgeting cuma pakai Google Sheets, sekarang udah banyak app dan YouTube channels yang bisa kamu gunakan untuk meningkatkan financial skills-mu. Informasi mengenai investasi, bisnis, dan cara-cara menciptakan multiple income streams udah gampang banget aksesnya – jadi selama kamu memang berniat cari uang, kamu pasti bisa. Aku pernah denger tip dari seorang financial advisor yang bagus nih: Banyak budaya yang menanamkan pemikiran bahwa ā€˜cari uang itu susahā€™ (aku rasa di Indonesia juga ada cara pandang seperti ini). Nah, this is where the problem lies. Bukannya bermaksud ngegampangin, tapi kita seharusnya berpikir bahwa ā€˜cari uang itu mudah – dan ENJOYABLEā€™. Ketika kita punya mindset seperti ini, maka aktivitas mencari uang itu akan terasa menyenangkan dan menantang, bukan lagi seperti beban. As long as youā€™re willing to always improve yourself and do something – and donā€™t think of wealth as evil – money will naturally come to you.

OK, sebelum kejauhan, aku stop di sini dulu. Satu hal yang mau aku tambahkan di sini adalah karena aku sudah terbiasa kerja remotely, aku cukup beruntung untuk bisa nge-keep pekerjaan aku dari Indonesia pas pindah ke Lithuania. So in the end aku sebenernya cuma pakai tabunganku untuk biaya studi. Untuk biaya hidup sehari-hari, aku tetep pakai uang hasil pendapatan kerja per bulannya, dan baru di bulan Agustus 2020 (setahun setelah aku mulai studi S2-ku dan tepatnya di semester terakhir ketika aku cuma tinggal ngerjain skripsi) aku mulai kerja full time di perusahaan yang berbasis di Lithuania. Thatā€™s how I self-funded my studies here! šŸ™‚