Matahari bersinar terik di Piazza San Pietro. Sobat KP tengah berdiri di antrian yang mengular menuju basilika San Pietro dengan keringat membanjir walau sudah mengenakan tangan buntung dan celana pendek. Antrian perlahan maju ke depan dan senyum di wajah sobat KP makin melebar hingga-, oh tidak, kenapa petugas berseragam yang menjaga barisan menyuruh sobat KP untuk melangkah keluar? Dengan wajah penuh geram sobat KP pun memprotes hingga sang petugas menunjuk pakaian sobat KP dan papan pengumuman di sisi antrian.
“Pengunjung dilarang mengenakan pakaian minim.” Bagi kalian yang sering travelling, mungkin tidak lagi asing dengan peraturan semacam ini yang muncul di beberapa tempat tertentu. Peraturan ini tentunya didasarkan oleh perbedaan budaya di berbagai tempat, dan merupakan anjuran bagi turis untuk menghormati kultur tersebut. Mungkin kasus macam penerapan dress code di tujuan wisata bukanlah lagi hal asing, namun bagaimana dengan peraturan terhadap menstruasi?
Di hari kebersihan menstruasi sedunia tanggal 28 Mei ini, tampaknya tidak ada topik lain yang paling tepat untuk dibicarakan mengenai menstruasi dan travelling selain ini. Mungkin beberapa dari kalian ada yang sudah mendengar tentang berita seorang turis asing asal Eropa yang berkunjung ke Bali dan mengunggah sebuah video protes, lantaran dirinya yang sedang datang bulan dilarang memasuki kompleks pura sesuai dengan peraturan yang beredar di sana. Natalia Muchova, seorang model asal Eropa, mengunggah video beberapa bulan yang lalu ke akun tiktoknya dalam ungkapan protes akan peraturan yang melarang wanita yang tengah menstruasi untuk memasuki wilayah pura.
“Religius Period discrimination in Indonesia is real… Very Real,” tulisnya, diikuti dengan kata-kata “because what’s going on down here is completely unholy and very dirty.”
Tak lama kemudian unggahannya ini viral di sosial media dan mendapatkan banyak kecaman dari warganet Indonesia. Beberapa komentar-komentar dari warga Indonesia menyampaikan bagaimana larangan masuk bagi perempuan yang tengah bermenstruasi tersebut diadakan untuk keselamatan para perempuan sendiri dari makhluk halus dan pengaruh buruk lainnya yang mudah melekat pada perempuan di masa haid-nya.
Setelah mendapat kecaman di dunia maya, Natalia Muchova kembali angkat suara melalui akun Instagram-nya dengan membuat sebuah video singkat dalam rangka pembelaan diri. Di video tersebut, Natalia Muchova menjelaskan bagaimana ia memahami larangan yang ada di pura dan tetap menghormatinya dengan tidak melanggar larangan tersebut. Ia menambahkan bahwa dirinya sendiri tidak sepenuhnya setuju dengan larangan yang ia lihat sebagai diskriminasi terhadap kaum perempuan tersebut, namun tetap membuka diri terhadap dialog sebagai bentuk edukasi diri.
Kasus ini menjadi sesuatu yang menarik ketika dua budaya yang berbeda saling bertemu. Sebagai turis dari Eropa, alasan mistis macam menjaga perempuan yang tengah haid dari kesurupan dan gangguan makhluk halus mungkin jadi sesuatu yang sulit dimengerti. Di sinilah kita mulai bertanya, apakah larangan yang ada dan harus dipatuhi tersebut adalah bentuk toleransi akan budaya, ataukah tradisi yang berumur ratusan tahun tersebut dianggap sebagai sesuatu yang kolot dan diskriminatif terhadap perempuan? Kebanyakan penduduk Indonesia melihatnya sebagai pelestarian budaya yang harus dituruti oleh para pengunjung, sedangkan Natalia Muchova melihatnya sebagai diskriminasi dan isu hak asasi manusia.
Kenapa perempuan yang tengah haid dilarang masuk ke dalam pura?
Larangan terhadap perempuan yang tengah menstruasi untuk memasuki rumah ibadah bukanlah hal yang sepenuhnya asing. Baik agama Islam maupun Hindu memberlakukan hal tersebut atas dasar kebersihan. Dalam agama Hindu, terutama di Bali, pura adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi. Selain perempuan yang tengah bermenstruasi, larangan juga dikenakan bagi orang tua yang memiliki bayi berumur di bawah enam bulan ataupun mereka yang baru saja memiliki anggota keluarga yang meninggal. Jika aturan tidak dipatuhi, mereka yang melanggar akan mengalami gangguan dari kerasukan, sakit dan hal-hal lainnya.
Selain keburukan yang menimpa sang pelanggar, batara atau holy spirit yang marah lantaran kediamannya dikotori dapat menurunkan wabah bagi penduduk dan pelayan pura, dalam bentuk penyakit ataupun bencana alam. Oleh karena itu, larangan tersebut diadakan, dari sudut pandang masyarakat Hindu di Bali, tidak hanya untuk melindungi mereka yang mengunjungi pura, namun juga untuk penduduk sekitar pura.
Secara logis, larangan yang telah menjadi tradisi ini muncul karena alasan higienis. Ratusan tahun yang lalu ketika peraturan ini pertama muncul, alat seperti pembalut ataupun tampon belum ditemukan. Perempuan yang tengah menjalani haid hanya bisa bergantung pada kain untuk menyerap darah menstruasi mereka, yang tentunya tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Kemungkinan darah menetes ke atas tanah, terutama di tempat suci yang kebersihannya amat dijaga seperti pura, menjadi alasan atas munculnya peraturan ini. Dalam agama Hindu sendiri, perempuan yang tengah haid dilarang untuk melakukan beberapa aktivitas tertentu dan bahkan dihimbau untuk hanya berdiam diri di sudut.
Larangan terhadap perempuan di berbagai destinasi turis lainnya : diskriminasi atau tradisi?
Himbauan untuk mengenakan pakaian yang sopan ketika memasuki Vatican City seperti di awal artikel merupakan sesuatu yang dapat dimengerti oleh banyak orang. Peraturan ini pun diberlakukan baik terhadap wanita maupun laki-laki, atas dasar menjaga kesucian tempat yang mereka kunjungi.
Larangan terhadap perempuan yang tengah haid sendiri juga muncul di beberapa destinasi turis lainnya. Di Indonesia, perempuan yang tengah menstruasi dianjurkan untuk tidak memasuki wilayah habitat komodo, lantaran reptil satu itu tertarik pada bau darah dan dapat menyerang manusia. Di luar Indonesia, hal serupa diberlakukan di berbagai pura di India.
Tentu saja dalam kasus pura di Indonesia dan India, perempuan yang sedang tidak menjalani haid diperbolehkan untuk berkunjung. Namun, larangan bagi perempuan seutuhnya, adalah sesuatu yang tidak asing di beberapa tujuan wisata tertentu. Gunung Athos di Yunani atau Gunung Omine di Jepang, misalnya, melarang wanita manapun untuk menginjakkan kaki di sana atas dasar tradisi. Di Saudi Arabia, turis wanita juga tidak bisa dengan mudah berjalan-jalan tanpa didampingi oleh pria.
Hal-hal seperti inilah yang menjadi tanda tanya besar bagi beberapa orang. Tentu saja berbagai alasan hadir di balik larangan yang muncul tersebut. Sesuatu yang awalnya memiliki alasan logis pada waktunya, perlahan berubah menjadi sebuah tradisi yang kemudian dipertahankan oleh penganut kebudayaan tersebut. Seperti halnya larangan terhadap perempuan yang sedang haid, peraturan tersebut dibentuk karena keadaan semasa itu, sebelum akhirnya dianut sebagai sebuah tradisi yang keabsahannya tidak lagi dipertanyakan oleh banyak orang.
Tentu saja di masa modern ini, ketika menstruasi wanita bisa diatasi dengan mudah dan higienis, kita kembali mempertanyakan peraturan yang berlaku tersebut. Terutama bagi mereka yang menganut agama Hindu, dilema akan menjaga tradisi dan ekspresi iman menjadi sesuatu yang hangat diperbincangkan. Aturan yang terkesan patriarkis tersebut mendapatkan protes dari berbagai wanita di India yang mengadakan long march sebagai bentuk penolakan terhadap peraturan yang dianggap melanggar hak konstitusional perempuan untuk beribadah.
Bagaimana berprilaku sebagai turis?
Kembali kepada kasus Natalia Muchova, posisi kita sebagai turis yang memprotes sebuah peraturan tertentu atau sebagai pemeluk agama tersebut sendiri tentulah berbeda. Sebagai turis dan “orang luar”, kita diharuskan terlebih dahulu untuk menjaga etika dan mempelajari segala tradisi dan kebiasaan akan tempat yang kita datangi. Seperti halnya Natalia Muchova, yang walaupun merasa kontra dengan peraturan yang ada dengan alasannya sendiri, kita harus tetap mematuhi tradisi dimana kita hadir sebagai turis.
Tentu saja dengan berkembangnya zaman dan bergesernya norma, semakin banyak orang akan mengulik berbagai poin dalam tradisi atau budaya yang dinilai diskriminatif terhadap kaum tertentu. Beberapa akan mendukung penghapusan diskriminasi atas dasar penegakan HAM, sedang yang lain akan mempertahankan nilai budaya yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Diskusi hangat antara HAM vs. tradisi ini akan terus berlangsung.
Namun tentu saja, lebih dari apapun, sebagai turis, toleransi adalah sikap yang harus selalu kita ambil. Tentu masing-masing dari kita memiliki pendapat dan logika masing-masing, namun sebagai turis yang terbuka terhadap berbagai hal baru, mencoba memahami alasan dan kisah dibalik segala tradisi pastinya menjadi sesuatu yang lebih menggairahkan.