Sebenarnya gue udah engga asing dengan berpuasa di negeri orang, sendirian, dan sambil kerja pula. Dalam hal ini, kerja gue kan IT, jadi selalu di kantor dan di depan komputer. Engga sulit. Tapi baru tahun 2018 kemarin, gue berpuasa sekaligus berlebaran, sambil melakukan kerja sampingan gue: menjadi pemandu wisata.
Dalam Islam juga kan dianjurkan berpuasa sambil berkegiatan seperti biasa, jadi ketika gue dapat tawaran menjadi pemandu wisata untuk keluarga temen gue di tanggal puasa dan lebaran, gue ayo-in aja.
Mulai dari Helsinki
Jadi permintaan dari keluarga ini adalah: Skandinavia, 10 hari, mulai dari Helsinki. Spesifik kotanya dipercayakan ke gue untuk milihin. Gue pilihinlah rute Skandinavia A gue, yaitu Helsinki-Stockholm-Bergen. Stockholm dipilih karena udah jelas, kota gue (bias kok bangga). Copenhagen sebenarnya bagus sih, cuma kalau dibandingkan sama Bergen, jauh mendingan Bergen. Oslo udah bisa dipastikan tidak perlu dikunjungi. Disclaimer, ini semua pendapat gue aja loh ya.
Waktu itu puasa sekitar hari ke-23 atau 24. Jadi dari sebelum rombongan datang, gue udah bilang ke mereka kalau gue akan puasa dan it’s okay. Kalau mereka mau makan siang, nanti gue tinggal cabut sebentar. Oh iya, 2018 itu bulan puasanya lumayan di tengah musim panas, jadi sahur jam 2, dan buka puasa jam 22.
Walaupun mereka udah tau gue puasa dan gue santai kalau liat mereka makan, mereka tetep masih izin-izin dulu gitu sebelum makan eskrim, atau minum jus yang dibeli di tengah jalan. Budaya timur ya, memang indah.
Karena ibadah gue kan bukan cuma puasa ya, tapi juga sholat, jadi sesekali, dalam perjalanan kami, gue minta izin untuk sholat. Karena negara Skandinavia jarang ada masjid, dan sambil memandu susah ke masjid, jadi seringnya gue sholat di tempat terbuka. Mungkin cari yang agak sepi gitu. Nah salah satu kejadian uniknya adalah, ketika kami masuk ke salah satu tempat wisata di Helsinki, yaitu Rock Church, atau Temppeliaukio, entah kenapa gue merasa tenang banget di dalam sana. Interior, alunan nada, dan lilin-lilin bikin gue nyaman. Karena waktu sholat udah masuk, gue pun izin ke keluarga ini, dan juga ke penjaga gerejanya.
“Mba, saya kan muslim nih ya. Kira-kira boleh ga sih saya pake space dikit di ujung sana, untuk sholat?”, gue bertanya ke mba penjaga.
“Oh ya boleh dong. Walaupun ini gereja, tapi kami ga menutup diri untuk penganut agama lain untuk beribadah disini”, kata si mba.
Hatiku adem.
Stockholm kota gue yang paling cakep
Setelah di Helsinki mereka tinggal di apartemen yang modern. Di Stockholm gue pesenin mereka rumah tipikal orang Swedia, yang dari balkonnya bisa liat danau dengan dominasi warna putih dan agak jauh dari tengah kota. Pak Artin kebetulan setipe sama gue, dan lebih suka tinggal deket alam dan engga di tempat ramai.
Karena ini kota gue, dan mereka menyerahkan ke gue tempat wisatanya, jadi gue ajak ke tempat-tempat favorit gue: sup ikan Kajsas Fisk, perpustakaan kota, City Hall, dan tentunya museum teknologi. Gue juga sempat ajak ke danau kesukaan gue di Hellasgården. Sempat ada insiden handphone Warren (anaknya yang cowo) hilang. Untung berhasil ditemuin sama mas pemandu wisata yang ganteng.
Pagi terakhir di Stockholm sebelum ke Bergen, adalah hari terakhir puasa dan kami terbang ke Bergen pagi itu. Janjian langsung di airport. Dari rumah gue kita keretaan ke airport. Karena masih pagi, jadi kosong. Gue sempetin untuk ngaji. Hari ke-30, juz ke-30 juga. Dan di kereta itu gue berhasil khatam (selesai) Al-Qur’an. Lega sih rasanya. Ternyata bukan cuma puasa dan sholat yang lancar dikerjakan sambil nge-guide, tapi ngajinya juga.
Lebaran di Bergen
Karena musim panas itu jam 3 matahari udah terang, jadi pas kami sampe sana sekitar jam 10 itu udah kaya siang bolong. Sehabis taro barang dirumah, kami langsung ke pusat kota: liat ikan! Norwegia kan terkenal banget sama ikannya ya, terutama Salmon.
Oh lupa, keluarga pak Artin yang tadinya ber-empat, sekarang bertambah satu lagi. Evita yang kuliah di UK nyusul dan tiba di hari yang sama. Berenam lah kita. Jadi mobil sewanya juga yang agak gede dikit.
Setelah puas jalan-jalan hampir seharian, sekitar jam 18 kami pulang ke apartemen. Dan ini salah satu model wisata keluarga yang gue suka dari mereka juga. Jam 18, sebelum makan malam, maunya ada dirumah. Biar bisa siapin makanan bareng, kemudian makan malam bareng anak-anak. Untuk keluarga yang sibuk, gue kira ini bisa jadi hal mewah, untuk bisa cari waktu ngobrol-ngobrol bareng.
Karena gue engga nginep sama mereka. Gue pun pamit untuk ke hostel gue. Gue juga udah siap dengan bekal buka puasa terakhir gue. Hostelnya juga enak diatas bukit. Pemandangannya bagus. Engga lupa, malam itu gue pastikan lagi lokasi tempat sholat idul fitri untuk keesokan paginya. Komunitas muslim di Bergen meminjam lapangan basket indoor.
Besok paginya gue dengan semangat menuju ke lapangan itu. Sekitar 1 km sebelum sampai disana, gue mulai melihat rombongan-rombongan muslim yang mau menuju ke lapangan juga. Penuh lho ternyata. Gue udah mengira akan susah wudhu disana, jadi gue udah wudhu dari hostel.
Beres sholat, ke tempat pak Artin, dan dengan semangat mereka udah menyambut.
“Karena hari ini hari spesial kamu, dan kamu bisa makan, nah sekarang kamu pilih, mau makan dimana? Mana aja boleh”, kata Pak Artin sambil senyum bangga.
Ehe he he he. Senyum gue pasti jelek banget tuh waktu itu. Dalam hati gue mikir, “Tau gini semalam gue browsing resto paling mewah di Bergen”. Ga deng bercanda. Gue juga ga suka makanan yang terlalu mewah dan mahal. Gue dikasih makan resto Padang Sederhana aja udah seneng banget. Jadi akhirnya gue pilih resto yang paling deket dengan kita waktu itu. Ga murah lagi ternyata, duh. Abisnya waktu itu lagi di pusat area turis gitu.
Sambil nunggu makanan, Pak Artin juga bilang kalo dia salut sama gue, bisa puasa 21 jam sambil nge-guide. Padahal, asiknya keluarga dia juga membantu banget buat puasa gue jadi lancar.
Yes, mereka ini keluarga yang hangat dan inspiratif. Warren, anaknya yang cowo, itu tipe yang aktif, sekaligus observan. Dia denger kalau orang lagi bicara, dan memperhatikan hal-hal disekitar. Dea, anak cewe yang nomor dua, kombinasi girly dan sporty, dan kuat jalan jauh waktu kami naik bukit di Bergen. Evita, anak cewe yang paling tua juga lagi S2 Civil Engineering di UK. Sporty juga. Bu Lia, friendly, sopan, manager perjalanan yang baik, dan sering memastikan ke gue soal tujuan, rencana, dan lain-lain. Pak Artin juga spesial. Sederhana, humble, chill, good educator. Sering gue mendapati dia lagi ajarin Warren sesuatu.
“Sepintar apapun kita nanti, sesukses apapun kita, harus cinta sama Indonesia. Karena kita berasal dari Indonesia”, katanya ke Warren.
Oh ada satu lagi yang keren. Dia suka banget baca buku. Di kota mampir ke toko buku, di bandara beli buku, sambil nunggu keluarganya belanja, main ke toko buku.
Akhirnya perjalanan gue selesai. Trip ini buat gue bukan cuma berhasil puasa dan lebaran sambil kerja, dapet duit dan foto-foto bagus, tapi gue juga jadi dapet pelajaran parenting dan bisa kenal sama orang-orang yang keren.