The Green Book. Beberapa dari kalian mungkin mengenal kata ini sebagai sebuah judul film yang muncul pada tahun 2018 dan bahkan memenangkan piala Oscar untuk kategori Best Picture. Film satu ini berkisah tentang perjalanan Don Shirley, seorang musisi kulit hitam, dan chauffeur-nya, Tony Vallelonga yang merupakan keturunan Italia-Amerika, mengarungi berbagai wilayah di Amerika Serikat pada tahun 1962. Lantas, apa hubungan film ini dengan diskriminasi terhadap kaum kulit hitam? Terlebih lagi dalam dunia travelling? Artikel kali ini akan membahas singkat akan sebuah masa dalam sejarah Amerika Serikat, dimana travelling diwarnai dengan bentuk nyata perlakuan diskriminatif, yang bahkan bisa mengancam jiwa bagi beberapa kaum tertentu.
Belakangan ini kita menyaksikan unggahan berwarna hitam kelam di berbagai sosial media dengan tagar BLM atau Black Lives Matter. Gerakan yang dibentuk tahun 2013 ini kembali mendapatkan panggung tidak hanya di negara asalnya, Amerika Serikat, namun juga di mata internasional, setelah kasus kematian George Floyd, seorang kulit hitam, di tangan polisi Minneapolis. Selain mengkritik sistem kepolisian di Amerika Serikat, gerakan BLM ini menuntut penghapusan diskriminasi ras yang mendarah daging di kultur dan sejarah negara paman Sam ini. Rasisme dirasakan di berbagai lapisan kehidupan masyarakat, baik dari edukasi hingga ekonomi, dan tentu saja dalam budaya travelling.
Perjuangan melawan diskriminasi terhadap ras kulit hitam di Amerika Serikat terus berkobar semenjak penghapusan sistem perbudakan hingga hukum segregasi Jim Crow. Hukum segregasi Jim Crow yang akhirnya dihapus pada tahun 1965 memastikan bahwa kaum kulit hitam dan kulit putih memiliki fasilitas yang terpisah. Dari tempat duduk yang berbeda di transportasi publik, sekolah, hingga kamar mandi, kaum kulit hitam di Amerika Serikat (terutama di bagian selatan), tidak bisa menikmati fasilitas yang sama seperti kaum kulit putih. “Separate but equal” (terpisah namun sederajat) adalah slogan yang dikemukakan, walaupun pada kenyataannya fasilitas bagi kaum kulit hitam selalu memiliki kualitas yang lebih buruk.
Hal ini membuat travelling menjadi hal yang sulit bagi kaum kulit hitam. Walau telah memiliki mobil pribadi dan terlepas dari transportasi publik yang diskriminatif terhadap mereka, kaum kulit hitam tidak bisa menikmati liburan yang bebas akan kekhawatiran dan bahaya seperti kaum kulit putih. Bahkan sebaliknya, liburan yang seharusnya menjadi sesuatu yang mudah dan berlaku sebagai tempat melepas penat, menjadi sesuatu yang rumit bagi kaum kulit hitam.
Di sinilah hukum segregasi menciptakan gambaran yang berbeda akan travelling untuk kaum kulit putih dan kulit hitam. Ketika kaum kulit putih bisa berkendara dengan bebas, berhenti di restoran untuk makan siang, dan bermalam di hotel manapun yang diinginkan, kaum kulit hitam tidak bisa menikmati fasilitas tersebut dengan sembarangan. Hingga dihapusnya hukum Jim Crow dan bahkan beberapa tahun setelahnya, beberapa fasilitas seperti hotel, restoran dan pom bensin kerap menolak melayani kaum kulit hitam. Alih-alih berhenti secara spontan di restoran terdekat, kaum kulit hitam pada masa itu harus menyiapkan bekal sepanjang perjalanan atau bahkan membawa kanister bensin sebagai cadangan gas jika mereka tidak bisa menemukan pom bensin yang mau melayani mereka. Ketika hari bertambah gelap, rasa takut tidak menemukan tempat menginap dan diharuskan bermalam di pinggir jalan dalam kendaraan adalah sesuatu yang nyata.
Berbagai restriksi yang muncul bagi kaum kulit hitam ini lah yang melahirkan The Green Book, atau lebih lengkapnya, The Negro Motorist Green Book. Ditulis oleh Victor Hugo Green dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1936, buku ini merupakan travel guide bagi kaum kulit hitam di Amerika Serikat untuk berbagai fasilitas seperti rumah makan, hotel dan sebagainya yang ramah dan boleh dimasuki oleh kaum kulit berwarna. Buku ini dibuat untuk memberikan pengalaman berlibur yang menyenangkan dan aman bagi kaum kulit hitam di Amerika Serikat. Nama buku inilah yang diambil sebagai judul film buatan sutradara Peter Farrelly ini. Di film tersebut, travel guide ini pulalah yang digunakan oleh kedua karakter utama selama mereka berkendara mengarungi Amerika Serikat dan menemukan berbagai perlakuan diskriminatif di berbagai tempat.
Diskriminasi terhadap kaum kulit hitam tidak hanya dirasakan dengan larangan masuk ke beberapa fasilitas tertentu. The Green Book ini sendiri pun juga memuat informasi tentang beberapa kota, terutama di wilayah selatan Amerika Serikat, yang sering disebut sebagai sundown town, yang merupakan kota-kota kecil atau wilayah yang dihuni secara keseluruhan oleh orang kulit putih, dan memberlakukan larangan terhadap orang kulit berwarna untuk memasuki wilayah tersebut. Istilah sundown town sendiri itu pun muncul dari plakat jalan yang menyebutkan bahwa orang kulit berwarna harus meninggalkan kota di malam hari. Memasuki wilayah seperti ini bisa menjadi sesuatu yang berbahaya atau bahkan mengancam jiwa bagi kaum kulit hitam. Tindakan diskriminatif ini tidak hanya dialami oleh kaum kulit hitam yang lahir dan tinggal di Amerika Serikat. Dalam satu kasus, seorang diplomat dari Ghana mengalami diskriminasi rasial dari staf restoran di Dover yang menolak melayaninya, bahkan setelah mengetahui jabatan dan kepentingan diplomatiknya.
Kaum kulit hitam tidak hanya mendapatkan usiran dan penolakan di beberapa wilayah tertentu. Pada masa itu, travelling sendiri bisa menjadi sesuatu yang berbahaya bagi mereka. Dari dulu hingga sekarang, kaum kulit hitam memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dihentikan oleh polisi ketika tengah berkendara dengan mobil hanya karena warna kulit mereka. Mengendarai mobil yang seharusnya menjadi sesuatu yang biasa untuk kaum kulit putih, memiliki artian yang berbeda bagi kaum kulit hitam karena racial bias yang merajalela di masyarakat. Dari caci maki dan hinaan yang mungkin mereka dengar sepanjang perjalanan, atau bahkan hingga penyerangan secara fisik, travelling bagi kaum kulit hitam pada masa itu selalu diwarnai dengan rasa was-was dan kekhawatiran. Pengendara mobil berkulit hitam bahkan disarankan untuk mengenakan topi chaffeur ketika berkendara dan berpura-pura tengah mengendarai mobil kiriman orang kulit putih untuk mengurangi kemungkinan munculnya masalah. Berhenti di sisi jalan walau sejenak pun bisa menjadi undangan akan malapetaka. Kemungkinan mobil yang dirusak sebagai tindakan rasis kaum kulit putih amat besar. Kisah akan kaum kulit hitam yang hilang di tengah perjalanan dan tidak mencapai destinasi mereka bukan menjadi sesuatu yang asing. Kaum kulit hitam menghadapi risiko fisik yang nyata karena aturan pemisahan yang sangat berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Kegiatan-kegiatan yang diterima di satu tempat dapat memicu kekerasan di tempat lain yang hanya berjarak beberapa kilometer jauhnya.
Tentu saja setelah Civil Right Acts of 1964 yang melarang perlakuan diskriminasi rasial dalam masyarakat dilegalkan, The Green Book ini sendiri tidak lagi dibutuhkan bagi kaum kulit hitam. Semenjak tahun 1966 travel guide ini tidak lagi dipublikasikan dan perlahan-lahan kaum kulit hitam bisa berwisata secara bebas di Amerika Serikat. Hal ini bukan berarti diskriminasi rasial terhadap kaum kulit hitam hilang begitu saja. Bibit-bibit racial bias tidak sepenuhnya mampu dibasmi dari kultur masyarakat. Dalam dunia travelling pun, bentuk-bentuk diskriminasi terhadap kaum atau bahkan gender tertentu belum sepenuhnya hilang, misalnya seperti diskriminasi terhadap wanita di beberapa destinasi wisata tertentu yang pernah kita bahas di artikel sebelumnya. Meski demikian, travelling kini telah menjadi sesuatu yang jauh lebih terbuka bagi berbagai ras dan lapisan masyarakat. Ke depannya, kita semua tentunya berharap bahwa diskriminasi dalam travelling bisa sepenuhnya dihapus, dan siapapun dia dan darimanapun asalnya, bisa menikmati liburan yang menyenangkan tanpa harus memiliki kekhawatiran akan perlakuan diskriminatif dan penolakan.