Puasa Selama Dua Puluh Jam Sehari? Begini Suka Duka Ramadhan di Luar Negeri

Bulan Suci Ramadhan adalah momen yang paling dinanti oleh pemeluk agama Islam di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali bagi para diaspora muslim yang sedang berkelana di negeri orang. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin berbagi kisah para penghuni Kamar Pelajar yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan di luar negeri khususnya di benua Eropa. Penasaran dengan pengalaman puasa teman-teman Kamar Pelajar di Eropa? Yuk simak ringkasan hasil wawancara penulis dengan empat mahasiswa yang tersebar di beberapa negara di Eropa. Yang pertama, ada Satu di Stockholm (Swedia), lalu ada Qissy di Paris (Prancis), Jati di Den Haag (Belanda), dan Danu di Marseille (Prancis).

Berapa lama sih puasa di luar negeri?

Pada umumnya, masyarakat Indonesia menjalankan ibadah puasa selama 14 jam dalam sehari. Bagaimana dengan para penghuni KP yang sedang berada di Eropa? Mereka harus menjalankan ibadah puasa dengan durasi yang lebih panjang, bahkan hingga 20 jam dalam sehari.

“Aku udah tinggal dari tahun 2015 di sini (Stockholm, Swedia) dan udah ngelewatin puasa 5 kali. Puasanya sekitar 18 sampai dengan 20 jam. Tiga tahun lalu, pas di tengah musim panas, puasanya dari jam 01:30 sampai 22:30.” Tutur Satu.

Tidak jauh berbeda dengan Jati yang menjalankan puasa selama 16-18 jam lamanya. “Tahun ini rata-rata 16 jam. Tahun lalu bisa sampe 18 jam. Sahur biasanya bangun jam 4, sekarang udah jadi jam 03.30. Tahun lalu inget banget subuh itu jam 3 pagi, pernah bukanya jam 22.”

Berdasarkan cerita para narasumber, waktu puasa di daerah Eropa memang bergantung pada wilayah dan musim. Lazimnya, jika puasa jatuh di musim panas, durasi puasanya pun lebih lama karena matahari terbit lebih awal dan tenggelam lebih lama daripada musim lainnya. Terkait wilayah, umumnya daerah selatan Eropa memiliki siang yang lebih pendek daripada Eropa daerah Utara, sehingga durasi puasa di selatan Eropa cenderung lebih singkat. 

Qissy dari Paris, Prancis

Gimana rasanya puasa di negeri orang?

Menurut Qissy, vibe puasa di Indonesia dan di luar negeri itu beda banget, apalagi di Prancis, jumlah mesjid terbatas. Hal yang paling dirindukan mahasiswi yang sudah empat tahun menetap di negeri Eiffel ini adalah mendengar suara adzan dan mendatangi pasar kaget di jalanan untuk mencari takjil sebelum buka puasa seperti gorengan dan kolak. Wah, iya juga yaa, mana ada yang jual kolak di Eropa.

Sementara itu, Danu menganggap bahwa berpuasa di negeri minoritas muslim justru merupakan salah satu pengalaman yang seru. Baginya, berpuasa di luar negeri bisa membuatnya lebih melatih iman dan menjadi tantangan pribadi karena durasi puasanya lebih lama dibandingkan di tanah air.

Kesulitan apa yang dihadapi selama berpuasa di Eropa?

Bagi Jati, kesulitan yang dihadapinya selama berpuasa di Belanda adalah waktu dan cuaca. “Awalnya susah, aku sampe ga puasa seminggu gara-gara ga kuat. Waktu itu udah menjelang summer, waktunya lebih panjang, terus ditambah tahun lalu lagi sibuk-sibuknya thesis haha.”

Tidak jauh berbeda, Satu pun merasakan kesulitan karena durasi puasa yang panjang. “Susah dari durasinya aja, terus harus atur waktu tidur. Karena jam buka sama sahur mepet, jadi daripada bablas, mending nungguin aja dan begadang. Karena jam tidur malam berkurang, abis kerja jam 17 biasanya tidur, untuk kompensasi.”

Berbeda halnya dengan Qissy. Ia merasa lancar-lancar saja menjalankan ibadah puasanya. “Aku pribadi sih alhamdulillah lancar, bahkan kalo lupa sahur terus tetap puasa ga jadi masalah. Karena banyak orang ngira susahnya karena lama, sebenernya sih nggak kerasa karena ngikutin matahari juga. Contohnya walaupun udah jam 7 malam, ga kerasa karena masih terang. Kesulitannya memang ke menahan hawa nafsu makan, karena restoran dsb masih buka, ga ditutup kayak di Indonesia.”

Adapun pengalaman Danu yang sempat menghadiri acara Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) selama Ramadhan. “Pernah waktu pas musim panas dan kebetulan waktu itu PPI-ku menghadiri acara festival kebudayaan. Udah mana panas banget, buka stand dan harus jelasin tentang Indo, harus nari juga lagi! Itu bener-bener luar biasa sih nahan puasanya.”

Danu dari Marseille, Prancis

Di daerahmu ada masjid nggak? Apakah di sana ada komunitas sesama muslim?  

Sesuai hasil wawancara dengan para narasumber, ketersediaan masjid biasanya bergantung pada daerah masing-masing. Umumnya, jika di daerah tertentu terdapat komunitas muslim atau cukup banyak jumlah penduduk yang beragama islam, ada pula masjid di daerah tersebut. Di beberapa negara Eropa, komunitas muslim ini kebanyakan berasal dari berbagai kebangsaan seperti Turki dan Afrika Utara diantaranya Aljazair dan Maroko. Selain itu, ada pula komunitas muslim yang dibentuk oleh sesama masyarakat Indonesia di luar negeri. 

Jati dari Den Haag, Belanda

Selama Pandemi Covid, ada berasa perbedaan yang signifikan nggak sih untuk pengalaman puasa di luar negeri?

Selama Ramadhan, Qissy, Jati dan Danu terbiasa pergi ke masjid atau KBRI untuk berbuka puasa bersama dan ibadah sholat maghrib hingga tarawih. Sedangkan, seperti halnya di Indonesia, saat ini masjid di daerah sekitar mereka masih ditutup karena pembatasan jam malam selama pandemi. Ada pula Satu lebih memandang ke sisi positif yang ia alami selama berpuasa di tengah pandemi. “Selama Covid lebih enak karena nggak harus ke kantor, WFH. Jadi nggak perlu ke kantor dimana di sana orang-orang kan makan siang normal, terus ntar banyak yang nanya ‘eh kamu nggak makan?’ terus harus jelasin agak panjang wkwk.”

Gimana pandangan orang asing tentang puasa yang kamu jalani?

“Aku pribadi sih orangnya private, jadi biasanya kalo diajakin makan atau nongkrong, aku ga mesen aja atau bilang udah makan. Tapi kalo memang ditanya, aku bakal bilang aku puasa dan mereka respect banget sih.” Ucap Qissy.

Sementara Jati mengungkapkan, “Kalo di Den Haag, ketika kita bilang ‘I’m in doing Ramadhan’, mereka udah ngerti. Waktu itu aku pernah dikasih makanan sama resto gitu pas lagi kerja, terus si yang ngasih nanya: ‘Do you like it?’ aku cuma bales ‘Can I bring it home? I’ll eat during ifthar’ terus dia kayak ‘Ohh you’re doing the Ramadhan’.”

Cara pandang orang memang berbeda, tetapi selama ini, menurut pengalaman para penghuni KP, kebanyakan orang tetap menghargai perbedaan kepercayaan tersebut dan tidak mempermasalahkannya.

Nah sekian pengalaman puasa para penghuni KP di benua Eropa, menarik banget yaaa! Oh iya, ada juga nih saran dari mereka untuk teman-teman yang mungkin baru pertama kali menjalani ibadah puasa di luar negeri. Intinya, kuatkan niat, makan makanan yang bergizi selama berbuka dan sahur, dan nikmatilah! Hihi.