Ditinggal ketika jauh

Tinggal di luar negeri itu sering dilihat sebagai sesuatu yang keren dan prestise. Bisa jalan-jalan, kuliah, atau dapat gaji gede (kalau kerja), yang mana semuanya enggak salah sih. Tapi ada resiko besar yang sering nggak kelihatan sama orang-orang (termasuk orang yang tinggal di luar negeri), sebelum akhirnya kejadian: anggota keluarga meninggal ketika kita lagi di luar.

Terjadi sama gue

Gue S1 di Malaysia. Malam itu di Kuala Lumpur, gue, Sihka (adek gue yang kuliah di Malaysia juga) dan kakak angkat gue Kak Farah (dari Malaysia, usia sekitar 8 tahun diatas gue) lagi makan malam. Kak Farah yang traktir, karena waktu itu gue baru selesai praktikum (magang sebagai syarat kelulusan) dan sekalian dia juga mau kenal Sihka. Lagi makan enak-enak, ada telpon dari Tante gue di Indonesia.

“Atu, papa masuk ICU. Serangan jantung dan komplikasi. Sekarang lagi koma, ga sadar.”

Waktu itu uda 3 tahun lebih gue di Malaysia. Nggak pernah sebersit pun terpikir akan ada skenario kaya gini. Papa masih 50 tahun juga. 

Nggak bisa dideskripsikan gimana perasaan gue waktu itu. Bingung, kaget, cemas, takut, bercampur. Sihka mulai nangis. Gue mau nenangin tapi diri gue sendiri aja masih ga jelas. Akhirnya kak Farah yang nenangin kita.

“Aku harus pulang sekarang ngga, tan?” tanya gue.

“Nggak usah dulu kayanya. Tunggu perkembangan aja” jawab si Tante.

Besok paginya tante yang lain telpon dan bilang kalo papa udah mendingan dan stabil, walaupun belum sadar. Hati gue pun lebih tenang. Tapi itu cuma beberapa jam aja. Sebelum keadaannya jadi lebih parah dan gue disuruh pulang (emang gue juga mau sih). Jam 10 pagi waktu itu disuruh pulang. Gue dan Sihka langsung cepet-cepet ke Airport, tapi pesawat full semua dan yang paling cepat ada jam 17 sore. Itu siang terpanjang gue yang isinya gue dan Sihka bengong-bengong sambil terisak di bandara. Banyak orang ngeliatin. Ada juga yang nyamperin dan nanya kenapa.

Sihka khususnya. Dia deket banget-banget sama Papa. Klasik anak perempuan sama bapaknya lah. Dia banyak bengong. 

Jam 15 an waktu Malaysia, ada sms masuk dari sepupu gue. Ga tega nelpon kali ya, jadinya sms.

“Atu, Sika, Om Adi udah meninggal.”

Gue sama Sihka lagi di McDonald waktu sms itu masuk. Waktu kaya berhenti. Kenangan-kenangan sama Papa langsung kebayang. Gue sama sekali ga bisa mencerna kalau ga ada lagi kenangan baru yang bisa terbuat sama Papa.

Padahal pesawat kita tinggal 2 jam lagi. Tambah 2 jam waktu penerbangan, tambah 40 menit waktu dari bandara Jakarta ke rumah sakit, kami uda bisa liat Papa sebelum beliau pergi. Tapi Tuhan nulisin skenario berbeda. Kurang dari 24 jam, jiwa seseorang bisa langsung hilang gitu aja. Tanpa orang-orang terdekatnya, bisa mengucapkan salam terakhir.

Hidup memang penuh seni dan kejutan.

Terjadi sama temen-temen gue

Wini dan keluarga

Nggak sedikit pelajar atau masyarakat Indonesia di luar negeri yang mengalami cerita serupa. Dengan sedikit cari aja, gue udah ketemu dua teman dekat punya pengalaman ditinggal. Wini Yunisa, biasa dipanggil Wini, adalah teman se-tim gue di Kamar Pelajar. Wini yang kuliah di Italia ini, tanggal 2 Juli 2021 dapat kabar kalau Papa nya positif Covid dan harus dirawat di rumah sakit. Saturasi oksigennya 86. Tapi sayangnya waktu itu rumah sakit penuh semua jadi harus antri. Dengar kabar gitu, Wini pastinya khawatir. Tapi masih menahan diri dari pulang ke Indonesia, dan keluarganya juga bilang jangan dulu.

Masih dalam penungguan dengan harap-harap cemas, tanggal 9 Juli Papa nya meninggal, walaupun sempat dapat kamar di rumah sakit. Wini pun memutuskan pulang, walaupun di Indonesia masih ada karantina lagi 5 hari, dan melewati rentetan keriweuhan proses kepulangan (harus PCR, pesan tiket, dll).

Lain Wini, lain lagi cerita Raden di Uppsala, Swedia. Raden yang sudah lulus S2 di Swedia dan kini menemani suaminya yang sedang S3 serta hidup dengan 2 anak perempuannya, mengalami pengalaman yang gue ga bisa bayangin rasanya. Kalo gue cuma ditinggal Papa. Raden ditinggal kedua orang tuanya dalam waktu satu bulan.

15 November 2020 lalu, ketika Raden dapat kabar oleh keluarganya di Indonesia, kalau Mama nya sakit. Setelah hari itu sempat video call, hari yang sama, Mama nya masuk IGD. Keesokan harinya ada kabar susulan kalau Mama nya sudah meninggal. 10 hari setelah Mamanya meninggal, Papanya yang sangat terpukul dengan peninggalan Mamanya, masuk rumah sakit. Sekitar awal desember, Papanya meninggal dunia.

Ketika gue nanya gimana perasaan Wini dan Raden, keduanya susah menggambarkan apa yang mereka rasa. Wini bilang bingung, resah, lemes. Raden bilang:

Bisa dibilang hampir tidak ada hari untuk tidak menangis selama dua bulan itu.

Yang pengen banget dilakukan, seandainya waktu itu tau akan ditinggal

Baik Wini dan Raden juga bilang hal yang sama. Keduanya merasa belum cukup bisa memberikan yang terbaik buat orang tua yang meninggal dunia. Masih banyak rasanya yang ingin dilakukan bersama.

Udah bayangin lulus, terus bisa ajak papah jalan jalan di italia” kata Wini

Raden menambahkan, ia merasa agak terlalu mengejar ambisinya, sehingga jadi kurang mendekatkan diri ke orang tua. 

Wini dan Raden berpesan, kepada kita semua yang tinggal di luar negeri, ataupun berencana ke luar negeri, dan masih punya kedua orang tua, perdekatlah hubungan kita dengan orang tua kita, selagi masih sempat. Sempatkan telepon atau kalau sibuk, tulis pesan. Secara rutin. Karena orang tua selalu merindukan kita sebagai anaknya, dan ingin tahu kabar kita.

Buat gue, kuliah di luar negeri emang ada banyak kelebihannya. Tapi di sisi yang satu ini, resiko ditinggal ini menjadi salah satu kemungkinan yang sulit dihindari. Yuk, temen-temen pembaca, kita telpon orang tua kita dan cerita-cerita ke mereka?