Merantau ke Paris

            Sobat KP masih ingat dengan Kak Fara? Di kesempatan sebelumnya, kita sudah ngobrol soal kuliah Kak Fara di jurusan perfilman. Namun, rasanya kurang kalau kita belum mengulik lebih jauh pengalaman Kak Fara tinggal di Prancis. Seperti apa, ya, suasana belajar dan karakteristik orang-orang di sana? Simak cerita Kak Fara berikut ini, yuk!

Perbedaan belajar di Prancis dan Indonesia

            Melanjutkan studi ke luar negeri tentunya memiliki tantangan tersendiri. Terdapat banyak perbedaan budaya dan bahasa, sehingga mengharuskan para pelajar untuk menyesuaikan diri. Hal ini juga dirasakan Kak Fara, yang melanjutkan studinya ke Prancis. Baginya, perbedaan yang cukup signifikan antara Prancis dan Indonesia adalah interaksi antar mahasiswa dan dosen. Melalui gambaran yang ia dengar lewat cerita teman-teman maupun meme yang beredar di sosial media, komunikasi mahasiswa dengan dosen di Indonesia cenderung berlangsung dengan kaku dan sopan. “Itu salah satu yang aku enggak bisa relate di sini. Karena sopan sih harus, namanya juga (ke) dosen. Tapi enggak kayak di Indonesia. Overall di sini lebih santai. Misalnya, dosen lagi ngajar, terus omongannya kita sanggah. Mereka menanggapi dengan santai dan buka ruang untuk diskusi” ujar Kak Fara. 

            Layaknya kebanyakan orang Prancis, dosen di kampusnya sangat terbuka dengan diskusi dan debat. Mereka bahkan tidak segan untuk meminta maaf dan tidak takut ditegur oleh yang lebih muda. “Bahkan ada yang santai banget sampe ada yang ngevape di kelas. Tapi, meskipun santai bukan berarti mereka enggak pernah marah. Kadang justru mereka marah sama hal-hal yang bikin kita mikir, “masa sih mereka marah sama hal kayak gini?” karena biasanya santai banget. Jadi, yang aku lihat, mereka beda aja. Mungkin karena kampusku itu kampus perfilman, jadi mahasiswa dan dosen-dosen di sana juga nyentrik.” jelas Kak Fara.

Betah enggak di sana?

            Dari segi perkuliahan, Kak Fara mengaku sangat senang. Kuliah yang ia tempuh bahkan melebihi ekspektasi, sehingga membuat ia merasa nyaman dan kerasan di sana. Meskipun begitu, dari segi lingkungan belum senyaman perkuliahannya. Hal ini dipicu oleh lokasi kampus yang berjarak cukup jauh dari Paris dan butuh waktu 90 menit untuk sampai di pusat kota. Tidak heran, jumlah mahasiswa internasional di kampusnya terbilang sangat minim. “Judulnya doang Paris, ternyata kita jauh banget dan di sini enggak ada hiburan apa-apa. International studentsnya dikit dan orang Indonesianya cuma ada dua; aku dan temenku. Kita yang pertama dari Indonesia malah” jelas Kak Fara. 

            Selain itu, ia mengalami kesulitan karena orang Prancis di lingkungannya cukup dingin. Program di kelas internasional yang ia ikuti, 80% mahasiswanya adalah orang Prancis. Mereka lebih senang bergaul dengan sesama orang Prancis dan sulit berbaur dengan mahasiswa internasional. “Itu aja, sih, yang kadang bikin aku kesepian. Tapi, saat aku inget lagi kalo ini adalah kuliah yang aku mau, oke banget, dan bahkan melebihi ekspektasi, aku selalu bilang ke diriku sendiri, ‘aku betah di sini’. Karena, kan, enggak ada yang sempurna, ya. Pasti ada plus minusnya.” tutur Kak Fara. 

Orang Prancis itu gimana, sih? Ada enggak kebiasaan orang Prancis yang diadaptasi ke kehidupan sehari-hari?

            Dari pengamatan Kak Fara, orang Prancis amat suka berdiskusi dan debat. Mereka berdebat bukan sebagai ekspresi ketidaksukaan, namun hal ini sudah lumrah di kalangan mereka. Meskipun mereka berbicara dengan lantang, tidak berarti mereka sedang bertengkar. Hal ini juga tentu saja tidak mengganggu hubungan pertemanan antar mereka, karena saat berdebat, tidak ada kata teman maupun lawan. 

            Selain itu, menurut pandangan Kak Fara, orang Prancis sangat terang-terangan saat berbincang dengan lawan bicaranya. Meskipun sejak di Indonesia ia termasuk orang yang straightforward, ketika tinggal di Prancis, ia menjadi semakin terbiasa untuk berterus terang terhadap lawan bicaranya. “Di sini semua orang ngomong blak-blakan dan enggak diperhalus sama sekali. Aku jadi kebawa kadang kalo ngomong sama roommateku yang juga orang Indonesia. Tapi, mungkin karena kita sama-sama terbiasa di lingkungan yang seperti ini, jadi enggak masalah. Menghemat waktu juga dan to the point” jelasnya. Kebiasaan lain yang diadaptasi Kak Fara adalah berani untuk debat dan angkat suara. Tinggal di Prancis mengajarkannya untuk berani berkata tidak dan berani mengoreksi sesuatu jika terdapat kesalahan.

Siapa panutan Kak Fara? 

            Saat ditanyakan tentang panutannya, Kak Fara mengaku bahwa ia mengagumi Beryl Shereshewsky, seorang content creator di Youtube. Dulu, ia merupakan salah satu produser yang membuat konsep video di Great Big Story, channel informatif semi dokumenter yang sering membahas budaya, makanan, sejarah, atau hal-hal menarik lainnya. Kak Fara merasa bahwa style Beryl sangat bagus dan hal itu pun tercermin dari channel pribadinya sekarang. “Aku senang banget style storytellingnya dia. Jadi, bisa dibilang goal aku tuh pengen bikin konten kayak dia; konten yang informatif tapi fun, jadi kita enggak ngerasa lagi belajar” jelas kak Fara. Ia juga menambahkan, “Aku suka banget dokumenter, tapi dokumenter itu kayak intimidating banget buat orang. Kesannya kayak belajar banget. Makanya, aku pengen bisa bikin konten yang bite-sized gitu; jadi kita bisa menyampaikan informasi tanpa orang ngerasa kayak lagi belajar. Aku jujur enggak terlalu banyak nonton film, aku awam banget. Karena passion aku ada di creating, bukan menikmati (film). Jadi, aku enggak bisa banget kalo ditanya, “Far, rekomendasiin film dong!” Wah, enggak bisa, aku enggak ngerti! Bahkan orang Prancisnya aja ngomong kalo selera aku sampah banget. Makanya, role model aku justru bukan dari dunia perfilman, karena aku cuma pengen ngebuat; pengen jadi ‘kuli’nya.”

Film kesukaan Kak Fara dan kenapa?

            Siapa yang tidak kenal dengan Wes Anderson? Seorang sutradara terkenal yang telah sukses meluncurkan film-film legendaris seperti Moonrise Kingdom, The Royal Tenenbaums, dan The Grand Budapest Hotel. Ia dikenal oleh banyak orang melalui karya-karyanya tersebut, mulai dari yang awam sampai yang sudah lama berkecimpung di dunia perfilman. Film-filmnya yang iconic sudah banyak memikat hati penikmat film dari berbagai kalangan, tidak terkecuali kak Fara. Film favoritnya adalah The Darjeeling Limited. Meskipun tidak setenar karya-karya Wes Anderson yang lain, Kak Fara mengaku film ini tetap memiliki daya tariknya sendiri. “Aku suka banget sama The Darjeeling Limited. Humornya terasa lebih dry dibandingkan film-film lain. Selain itu, aku senang karena enggak terlalu banyak karakter yang diliput; jadi penonton difokusin ke tiga karakter yang sudah sering main di film dia. Tapi, entah kenapa, chemistry mereka bagus banget saat jadi kakak-beradik di film ini. Aku senang lihat interaksi mereka, bahkan melebihi film-film yang lain. Meskipun memang menurutku, kalau dibandingkan dengan film dia yang lain, yang ini enggak terlalu special. Yang paling aku suka emang chemistry antar karakternya aja.”

Biggest life lesson yang Kak Fara dapatkan selama tinggal di Prancis?

            Di balik banyaknya pengalaman yang diterima saat kuliah dan tinggal di luar negeri, tentunya ada berbagai tantangan dan kesulitan pula yang harus dihadapi. Namun, Kak Fara berusaha untuk menjaga semangatnya dalam keadaan yang berat sekalipun. Berada jauh dari rumah telah mengajarkannya banyak hal, termasuk untuk bertahan dan konsisten pada pilihannya.

“Pelajaran terbesar yang aku dapat selama ini adalah mencoba untuk selalu ingat alasan utama kenapa kita melakukan sesuatu, terutama ketika kita udah mau menyerah. Di kampus aku, international studentsnya berguguran karena social pressure. International studentsnya, kan, memang enggak banyak. Orang Prancisnya juga kebanyakan susah atau enggak mau temenan sama international students. Jadi, banyak dari mereka yang perlahan-lahan bolos, atau ujung-ujungnya enggak datang sama sekali. Semakin bergugurannya international students ini berpengaruh ke aku juga, yang jadi merasa berat banget. Apalagi, belum lama ini dikabarin sama dosen, kalau satu teman yang terbilang cukup dekat sama aku udah enggak akan datang lagi ke kampus. Itu bener-bener rasanya kayak kehilangan satu-satunya teman perjuangan. Tapi, kan, kalau mau pindah kampus bukan perkara yang mudah, apalagi dari segi finansial. Orang tua aku ngebiayain kuliahku di sini bukan dengan biaya yang sedikit.

            Jadi, pada akhirnya, saat aku kepikiran mau menyerah atau mau pindah, aku coba inget lagi alasan aku ada di sini. Ini adalah salah satu kampus yang bagiku, terbaik di Prancis, dan aku senang banget sama pembelajaran di sini. Aku harus terus ingat itu. Menurutku, cara itu juga bisa diaplikasikan ke hal lain. Misalnya, ketika aku mau menyerah di dunia editing, aku harus ingat lagi, ini kegiatan yang aku senangi. Itu, sih, yang selama ini aku pelajari. 

            Jujur, aku ngerasa teman-teman yang kuliah di Indonesia itu lebih keren, karena pressurenya banyak. Kalau di sini, aku paling dari bahasa atau pergaulan. Itupun karena memang sudah resikonya seperti ini, jadi aku memang harus siap. Tapi, kalo di Indonesia, kan, ada skripsi, yang kayaknya mau kita udah tahu atau enggak, tetap berat deh. Jadi, sepertinya cara tadi bisa diaplikasikan oleh teman-teman di Indonesia yang sedang menjalani skripsi” tutur Kak Fara.

Wah, pengalaman Kak Fara menarik banget, ya, sobat KP? Buat yang sedang berjuang juga, semangat, ya!

Semoga cerita Kak Fara bisa buat sobat KP makin termotivasi. Bonne chance!