MEMELUK MIMPI DI HEIDELBERG

Oleh Dina Priyanti Sabar (@dinapsabar, pemenang kontes menulis pengalaman traveling di luar negeri edisi November 2021)

It’s not only about a pretty landscape on the top of Heidelberg Church, but it’s about how much you believe in yourself to reach your dream.

Setiap orang mempunya timeline kehidupan yang berbeda-beda. Kalimat ini sering kita temukan di mana-mana termasuk di sebuah seminar motivasi atau suatu kampanye bertajuk self love.

Sempat ingin mengurungkan niat di tengah perjalanan menuju menara Gereja Roh Kudus terbesar di Heidelberg karena medannya yang terjal, anak-anak tangga yang kecil dan undakannya yang tinggi. Dengan membayar 2€, kita bisa naik ke menara gereja untuk melihat pemandangan kota Heidelberg dari sudut pandang daerah Kota Tua. “Masa mau berhenti? Tanggung, Din, sudah sampai disini, nanti nyesel loh ga naik sampai atas,” hati kecilku berucap. Untuk urusan tanjak-menanjak, aku memang bukan jagonya. Di Kassel pun, rumahku harus menanjak terlebih dahulu untuk mencapai haltestelle terdekat.

Aku menoleh ke bawah tangga dan ke atas. Sebelumnya ada dua turis dari Amerika yang berbarengan denganku, tapi mereka sudah lebih dulu naik ke atas. Mengingat posisiku sendirian saat ini karena temanku lebih memilih jajan kebab di dekat gereja daripada harus capek-capek naik ke menara, aku harus mencapai keinginanku seorang diri. ”Yok, bisa yok pelan-pelan”, pikirku. Jadi strateginya adalah setiap menyelesaikan 15-20 anak tangga, aku bisa break sejenak untuk ambil nafas selama 40 detik. Entah mungkin orang lain butuh 10-20 menit untuk mencapai menara ini. Tiap orang mempunyai kemampuan berbeda-beda, so stop compare yourself to the other. Di tengah jalan, ada jendela kawat kecil yang kita bisa gunakan untuk melihat pemandangan di luar. Memperlihatkan sedikit pemandangan bukit dan gedung-gedung tua yang kini dijadikan pertokoan. Seperti melihat miniatur kota tua saat itu, tanpa berpikir panjang aku langsung mengabadikan pemandangan di balik jendela kawat itu dengan kameraku.

Lalu, aku hampir 45 menit menyadari bahwa aku sudah sampai di puncak menara ketika mendengar suara lonceng gereja yang berbunyi, merasakan sayup-sayup angin musim semi yang berhembus, dan cahaya mentari menyinari tangga menara yang agak gelap. Aku merasa seperti tahanan napi yang baru keluar dari jeruji besi dan kembali merasakan kebebasan. Di akhir tangga, ada pintu kayu yang lumayan berat dan kecil, jadi kita harus agak menunduk untuk menuju keluar.

Oh ya, kamu pernah menonton film Monte Carlo, dimana saat itu di endingnya Meg (Leighton Meester) dan pacarnya yang bernama Riley (Luke Bracey) telah sampai di Machu Picchu dengan senyuman lebar lalu berteriak puas karena telah mencapai puncak? Ya, aku ingin sekali berteriak tapi malu, jadi yang kulakukan hanya tersenyum lebar dan berteriak tanpa suara. Sempat terharu sendiri karena tak menyangka aku bisa naik setinggi ini tanpa bantuan orang lain. Dari atas terlihat pemandangan The Famous Old Bridge yang bernama Karl Theodor Bridge dan menjembatani Sungai Neckar. Jalan ke sisi lain menara, aku melihat di puncak sebuah bukit ada Heidelberg Castle yang dibangun sebelum tahun 1214 dan menjadi landmark kota Heidelberg. Sambil menikmati pemandangan aku teringat seorang guru bahasa Jermanku di kelas mengatakan bahwa salah satu kosa kata di bahasa Jerman yang menurutnya paling cantik adalah Heidelberg dan kemudian beliau mengisahkan bahwa kota Heidelberg adalah satu dari sedikitnya kota di Jerman yang tidak hancur saat Perang Dunia 1 dan 2. Sementara kota-kota lain banyak yang sudah hancur dan dibangun kembali. Oleh karena itu, bangunan-bangunan di Heidelberg masih tetap utuh sampai sekarang dengan mempertahankan design orisinalitasnya. Entah apa yang akan merayapi hatiku jika tadi aku memutuskan menyerah dan segera kembali ke bawah, rasa menyesal sudah pasti. Kenapa aku harus menyerah di tengah jalan daripada memikirkan strategi untuk mencapai ke atas menara, ya? Mungkin begitu pikirku ketika aku hanya bisa memandang puncak menara gereja dari bawah sambil mengunyah kebab. Sebelum pulang, aku mengabadikan momen berada disini dengan sebuah foto. Foto yang nantinya ingin ku berikan kepada suami dan anak-anakku terus bilang, “The hiking did teach me one thing: Everyone has her/his own physical limitation and i’d rather stop comparing myself with others, including my own family”.