Aku Bukan Orang Xinjiang, Kek! Aku Orang Indonesia!

Regina adalah mahasiswa alumni jurusan tata boga di Universitas lokal Republik Rakyak Tiongkok yang saat ini telah kembali ke Indonesia dan berkarir di Jakarta.

Selama menempuh pendidikan di Tiongkok dalam empat tahun terakhir, Regina mengisi hari-harinya bukan hanya dengan kesibukan berkuliah, namun juga menjadi seorang pekerja paruh waktu di sebuah restoran. Kemampuannya yang bisa dibilang minim dalam berbahasa Mandarin tidak membuatnya minder menjalani pekerjaan tersebut. Malah yang ada, Regina makin termotivasi untuk terus belajar Bahasa Mandarin. Meningkatnya motivasi Regina ini juga dikarenakan ia tidak ingin mengulangi insiden kocak sewaktu ia menjadi pelayan di restoran tersebut.

Pengalaman ribetnya mengurus pendidikan di Tiongkok

Awal mula Regina memilih untuk berkuliah di Tiongkok adalah karena ia merasa pesimis untuk bisa lolos diterima universitas negeri impiannya di Indonesia. Namun masuk universitas swasta yang notabene biayanya selangit ia juga tidak sanggup dan Regina juga menuturkan bahwa dirinya sangat minim dalam mengantongi informasi beasiswa universitas swasta di Indonesia. Nah, maka dari itu Regina yang sudah mulai peka tentang pasar bebas dan mengetahui jikalau Tiongkok akan gencar memperluas pasarnya ke banyak negara termasuk Indonesia, akhirnya mulai mencari-cari informasi pendaftaran kuliah ke sana. Mendapat informasi seleksi jalur beasiswa dari anak kerabatnya, Regina pun mendaftar dan berhasil mendapatkan beasiswa. Hal ini beban membayar ukt, buku, dan asrama sudah ditanggung oleh pihak universitas.

Jika ditanya tentang perjuangan Regina sewaktu lebih ke masalah proses pendaftaran, ia mengingat ketika mengurus paspor dan visa adalah hal yang dirasa cukup ribet dan harus mengulang beberapa kali yang artinya bolak-balik ngurus. Kebetulan di Tiongkok sendiri memiliki sistem bahwa semua mahasiswa mendapat hak untuk tinggal di asrama lingkungan kampus, baik orang lokal maupun asing.

Jadi mahasiswa tidak perlu repot mengeluarkan uang lebih untuk sewa apartemen dan dapat lebih hemat waktu untuk berangkat ke kelas dikarenakan asrama terletak dalam lingkungan kampus. Tapi ada beberapa mahasiswa baik lokal maupun asing yang memilih menyewa apartemen karena beberapa alasan seperti membutuhkan lingkungan belajar lebih sepi, tempat tinggal yang komplit sudah tersedia kamar, dapur, kamar mandi, ataupun karena alasan sudah menikah (ini alasan kebanyakan mahasiswa asing).

Oh, iya! Regina mengingat bahwa ia datang ke kampusnya lebih awal 2 hari dari tanggal student letter dan itu malah membuatnya semakin ribet.

“Jadi di surat penerimaan ditulis tanggal 28 September tiba di kampus, nah tanggal 26 aku sudah tiba. Itu prosesnya cukup rumit, karena enggak boleh langsung masuk asrama karena belum tanggalnya jadi diminta tinggal di hotel 2 hari! Nah, akhirnya lapor ke pihak imigrasi dan kepolisian bolak-balik waktu check in dan check out hotel terus move ke asrama. Bagi teman yang ambil apartemen prosesnya enggak seribet aku yang harus bolak-balik lapor,” tutur Regina.

Regina juga bercerita bahwa ia telah tinggal di Tiongkok selama dua setengah tahun. Ia menambahkan bahwa seharusnya ia tinggal untuk durasi tiga tahun, tapi dikarenakan adanya Covid-19 jadi satu semester akhir dijalani di Indonesia. Nah ketika akan kembali ke Indonesia ini yang agak susah. Peraturan mengharuskan untuk lapor ke kepolisian setempat kalau mahasiswa sudah tidak tinggal lagi di asrama dan kembali ke negara masing-masing.

Pengalaman paling berkesan

Pengalaman berkesan bagi Regina menurutnya terjadi setiap Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Ia bercerita bahwa selama satu setengah tahun awal memutuskan untuk tidak pulang kampung ke Indonesia, “Jadi dapat semua momen itu!” serunya. Regina juga berseru bahwa “Ramadhan sewaktu musim panas itu challenging banget! Selain durasi puasa yang lebih lama 3-4 jam dari Indonesia ditambah suhu dan cuaca yang panas banget, lewat jam 5 sore biasanya udah lemes enggak bisa ngapa-ngapain!” Ia menambahkan bahwa momen Idul Fitri tidak dirayakan semeriah di Indonesia yang mengadakan takbir keliling dan bunyi petasan dikarenakan memang bukan tradisi muslim Tiongkok. Jadi sebagai jalan pintas, muslim Indonesia, Tajikistan, Kazakhstan, Bangladesh dan yg lain adakan perayaan sendiri.

Mereka menyalakan sound system, memutar takbir dari Youtube di rooftop asrama. “Karena berisik akhirnya kita digusur sama penjaga asrama. Ini bukan karena diskriminasi agama sih, tapi memang karena sudah malam dan ganggu istirahat orang-orang,” cerita Regina mengingat masa-masa itu. ?

Pengalaman kocak ketika berkuliah

Ketika ditanya mengenai pengalaman kocak, Regina berseru bahwa pengalaman kocak terjadi setiap ia praktek dapur. Ia yang merupakan mahasiswa jurusan tata boga sering mencoba berbagai varian bahan pengganti untuk membuat suatu masakan yang mengandung unsur babi, dari daging lemak sampai minyak. Bahkan onde-onde di Tiongkok tidak bisa dikonsumsi orang muslim. Jadi, Regina dan teman-temannya yang muslim tidaklah pantang menyerah dan kehabisan akal. Mereka cari substitusinya dengan mengganti daging babi dengan daging ayam atau daging sapi, minyaknya diganti dengan minyak ikan, dan lemaknya diganti dengan mentega hewani.

Regina bercerita bahwa, “setiap selesai masak, murid lokal jadi ikutan antri lihat masakan kita gitu lhooo karena kan kita ganti tuh resepnya ? kadang kalau failed itu semua pada ketawa sampe laoshi (dosen) kita ikut ketawa enggak habis pikir. Tapi kalau berhasil semua pada berebut nyoba hasil masakan kita.”

Pernah suatu hari, Regina melakukan demo masak sesuai resep dosen yang kebetulan bahan dasar ikan. “Cuma, rasanya itu kurang legit,” tutur Regina sembari menjelaskan bahwa masakan Tiongkok yang tulen itu sebenarnya jauh lebih hambar dibanding masakan Indonesia yang kaya akan rempah dan bumbu. Kemudian ia melanjutkan ceritanya bahwa yang digunakan untuk demo masak hanya bagian fillet ikan. Bagian tulang, kepala, dan ekor milik semua teman sekelas yang hampir terbuang percuma akhirnya Regina dan teman-teman dari Indonesia kumpulkan. Teman lokal Tiongkok pun heran bertanya-tanya tentang mengapa orang Indonesia minta tulang ikan mentah? Mereka menebak apakah mau dikasih ke anjing atau bagaimana? Jadi, Regina menukasnya bahwa ia dan teman-teman dari Indonesia akan memasaknya di asrama. “Mereka pun langsung ikut ke asrama buat ikutan cicip!” jelas Regina.

Pengalaman lucu juga terjadi sewaktu awal Regina di Tiongkok ketika ia dan teman-teman dari Indonesia membeli es krim. Empat dalam Bahasa Mandarin disebut “si” dan sepuluh adalah “shi”. Regina yang menganggapnya hampir mirip dikarenakan kemampuan berbicaranya masih kurang bagus, namun dengan percaya diri ia memesan es krim tersebut di warung lokal. Ia bernostalgia bahwa sebenarnya ia beserta teman-temannya yang berjumlah tiga orang memesan es krim dengan jumlah yang pas sembari meninggalkan penjual tersebut untuk membeli kebutuhan lain. Sialnya, penjual es krim yang menangkap bahwa pesanan Regina dan kawan-kawan adalah sepuluh biji. Jadi, ia dan ketiga temannya kaget sewaktu datang disuguhkan dengan sepuluh cone es krim! Uang yang dibawa mereka pun ngepres banget dan mereka sewaktu itu takut penjualnya marah-marah.

“Syukurlah baik banget penjualnya, dikasih gratis yang 6 HAHA! Terus kita habisin tuh es krim sambil ngobrol sama si penjual nah sejak itu kita jadi pelanggan paling loyal tiap minggu pasti datang ? btw pas habisin 10 es krim itu pulangnya kita mabok es krim wkwkwk,”

Pengalaman kocak ketika kerja paruh waktu

Regina juga mempunyai pengalaman kocak ketika ia menjadi seorang pekerja paruh waktu. Hal itu terjadi ketika ia yang baru tiga bulan di Tiongkok sudah meneguhkan hati bekerja paruh waktu dengan menjadi seorang pelayan di restoran.

“Aku pernah pas posisi kasir kan, ada kakek tua beli. Nah kalau orang tua itu kan bawel yaaa. Beliau bilang kalau Bahasa Mandarin-ku jelek sebagai orang Xinjiang. Kakek itu ngiranya aku dari Xinjiang (salah satu kota di Cina dengan populasi muslim yang banyak). Jadi aku ketawa doang tuh sambil oke-oke-in aja. Nah pas si kakek itu mau pulang aku lagi ngobrol tentang Bali. Aku bilang aku aku pernah ke Bali. Si kakek ikut nimbrung ngobrol, katanya Bali itu bagus banget. Aku bilang, lah iya dong Indonesia itu cantik banget banyak kota bagus ada Bali, Jogja, dan Jakarta yang mirip Shanghai. Lalu dia ngeyel awalnya karena mengira Bali itu ya Bali, bukan Indonesia. Dia tetep ngeyel ? dan nanya gini, kok kamu pede sih Bali itu Indonesia? Aku jawab, IYALAH KAN AKU ORANG INDONESIA! ? dan malulah si kakek itu, double kill!” cerita Regina menggebu-gebu.

Regina menganggapnya double kill disebabkan oleh dua hal. Si kakek yang ada di pengalaman Regina tersebut malu karena bersikeras bahwa Bali itu bukan Indonesia. Kemudian yang kedua, ia malu karena sudah salah sangka bahwa Regina adalah orang Xinjiang dan menilai bahwa Bahasa Mandarin Regina tidak fasih. Namun, setelah itu mereka jadi ngobrol dan si kakek berkata bahwa sebagai orang asing yang tiga bulan menginjakkan kaki di Tiongkok, Bahasa Mandarin Regina tergolong fasih. Kemudian ending-nya ditutup dengan sesi foto bersama. Hiyaa!

Regina mengorek-orek kembali kejadian lucu sewaktu bekerja paruh waktu. Pernah suatu hari, ia mendapat orderan dua cangkir milk tea. Masih pengalaman ketika menjadi karyawan baru, Regina menuturkan bahwa kejadian ini terjadi ketika karyawan senior masih memantaunya sewaktu meracik minuman.

“Aku inget kalau 2 milk tea itu butuh 300 mililiter, yang dalam Bahasa Mandarin berarti san bai. Nah untuk takarannya, 150 mililiter teh itu untuk 1 cangkir milk tea. Nah, tapi seniorku ngomongnya san bei yang berarti 3 gelas. Aku shock dong! Seingatku orderannya 2 gelas (liang bei) bukan 3 gelas (san bei). Tapi aku diemin enggak kroscek ke seniorku, karena takut sotoy. Jadi aku buatlah tuh 3 gelas milk tea, jadi jika ditotal pakai 450 mililiter teh. Pas beres 3 gelas, seniorku melongo ? kata dia gini; Gina orderan-nya kan cuma 2 gelas kenapa kamu buat 3 gelas? Nah aku jawab, iya aku awal ngira 2 gelas tapi waktu aku ambil teh tadi bibi bilang san bei (3 gelas). TERNYATA seniorku mau nya bilang san bai (300) cuma salah pakai logat bahasa daerah jadi kedengaran nya san bei (3 gelas) WKWKWK ?. Untung dia enggak marah dan kelebihan segelas tadi aku yg minum gratis wkwkwk.” Cerita Regina sambil terkikik mengingat kejadian itu.

Ia juga menambahkan bahwa salah menangkap pengucapan “san bai” dan “san bei” ini bukan hanya dirinya yang mengalami. Setiap ada orang Indonesia yang baru kerja di tempat tersebut pasti mengalami pengalaman epik ini dan senior Regina selalu mengulang kesalahan yang sama dan selalu cerita ke mereka kalau ia merupakan orang pertama yang mengalami masalah dalam tangkap antara “san bai” dan “san bei” ini.

Sobat KP, seru sekali pengalaman Regina dan liwka-liku kehidupannya ketika di Cina, bukan? Kalau kamu? Apakah kamu ada keseruan serupa yang ingin kamu bagikan? Jika iya, tinggalkan profil media sosial atau kontak yang bisa dihubungi di kolom komentar untuk tim penulisan hubungi! Xie Xie!