Kisah Hamamur Studi di Bangladesh, Hingga Jadi Relawan di Kamp Rohingya

 

Studi di luar negeri tentunya jadi mimpi yang ingin dicapai oleh banyak dari kita. Harapannya, tentu kita ingin studi di negara yang cukup populer, ada musim salju nya, dan punya banyak tempat unik dan indah untuk dikunjungi. Tapi gimana kalau ternyata kamu harus melanjutkan studi ke sebuah negara yang jauh dari terkenal bahkan kamu tidak punya clue tentang negara itu sama sekali. Seperti Mumur, mahasiswi yang akhirnya melanjutkan studinya di Bangladesh. Kira-kira gimana sih ceritanya?

Malaysia atau Bangladesh

Awalnya, saat masih duduk di bangku SMA, ia pernah mendengar tentang seorang seniornya yang studi di suatu negara yang ia sama sekali tidak punya gambaran apapun saat mendengarnya, Bangladesh. Perempuan yang memiliki ambisi untuk kuliah di luar negeri ini awalnya ragu untuk mendaftarkan diri di sebuah universitas swasta disana. Selain karena memang negara ini cukup asing baginya, setelah berselancar di internet pun ia juga menemukan kalau negara itu memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi. Tidak hanya mencari informasi tentang negaranya saja, ia juga mencari tahu informasi tentang universitas yang sempat ia dengar. Namun, berbeda dengan gambarannya tentang Bangladesh, ternyata universitas nya membuat ia cukup tertarik. Setelah berdiskusi dengan keluarganya dan mendapatkan izin, ia memutuskan untuk mencoba mendaftarkan dirinya di Asian University for Women, Chittagong. 

Singkat cerita, ia diterima di Asian University for Women. Tapi, tidak hanya di AUW, ia juga diterima di salah satu universitas di Malaysia. Jadi, dia cukup dilema untuk memilih antara Malaysia atau Bangladesh pada saat itu. Setelah mencoba untuk mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya ia menjatuhkan pilihannya untuk studi ke Bangladesh.

Ada beberapa hal yang jadi pertimbangan Mumur untuk memilih Bangladesh, salah satunya adalah beasiswa. Universitas yang di Malaysia saat itu hanya memberikan beasiswa tuition fee saja, sementara di Bangladesh ia mendapatkan beasiswa penuh selama studi.

Satu hal lagi yang juga jadi pertimbangan adalah asrama. Dengan sistem asrama, meski di wilayah yang secara umum tingkat kriminalitasnya tinggi ia masih bisa mendapatkan rasa aman dengan sistem tersebut. Terlebih kampusnya dikhususkan hanya untuk perempuan saja.

Selamat datang di Bangladesh

Saat tiba di Bangladesh, ia juga tidak lepas dari culture shock. Sebagai orang Jawa yang bertutur kata secara halus, ia cukup kaget saat tiba di Bangladesh dengan gaya bicara yang cukup keras. Meski sebenarnya dia tahu ada beberapa wilayah di Indonesia yang gaya bicaranya cukup keras juga, tapi karena belum pernah tinggal di lingkungan seperti itu ia tetap merasa terkejut dengan hal itu. 

Kemudian makanan yang sangat berbeda dengan masakan Nusantara tentunya. Soal urusan lidah mungkin cukup sulit untuk ditawar, sehingga ia butuh waktu yang cukup lama untuk bisa berdamai dengan lidahnya. 

Hal yang paling menarik adalah antara Syiah dan Sunni. Sebagai seorang muslim, ada waktu dimana ia juga ingin shalat di masjid. Suatu hari, ada beberapa temannya yang sedang berjalan keluar yang katanya mau melaksanakan shalat ke masjid. Ia sempat ingin ikut waktu itu, tapi justru ia ditanya tentang islamnya. Apakah dia seorang Syiah atau Sunni, karena mereka adalah Syiah yang dalam beribadah berbeda dengan Sunni. Sebenarnya Bangladesh sama seperti Indonesia yang muslimnya adalah Sunni, dan Syiah juga dilarang. Tapi ini menjadi pengalaman tersendiri bagi Mumur memiliki teman Syiah. Sebagian besar teman-temannya yang mengaku Syiah berasal dari Afganistan dan Syria. Meski begitu, ia mengaku tetap bisa menjalani urusan kepercayaan masing-masing tanpa perlu mengusik yang lainnya. 

Keuntungan studi di AUW

Sebelum berangkat ke Bangladesh, sebenarnya Mumur sempat berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Indonesia selama beberapa bulan. Kemudian, ia mendapatkan pengumuman bahwa ia diterima di salah satu universitas swasta terbaik di Bangladesh, Asian University for Women. Berdasarkan pengalaman pribadinya, ia bersyukur bisa belajar di AUW dengan kualitas pendidikan yang lebih baik. Selain standar yang digunakan adalah standar internasional, ia merasa bahwa para dosen memiliki semangat yang tinggi untuk mencerdaskan anak didiknya. Sebagian besar dosen berasal dari wilayah Eropa dan Amerika. Ini menjadi nilai lebih baginya.

Disamping kegiatan belajar di ruang kelas, sama hal nya dengan universitas pada umumnya, ada banyak sekali kegiatan yang bisa diikuti melalui berbagai klub yang ada. Tapi saat itu, sebelum pandemi, Mumur mengaku belum begitu aktif untuk terlibat dalam kegiatan klub. Ia hanya bergabung di klub Model United Nation atau MUN dan klub publik speaking. Tapi, sesekali ia juga mencoba untuk bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan besar yang diadakan kampus, walau hanya sebagai panitia. Biasanya, kegiatan besar yang diadakan selalu mengundang tamu spesial atau mahasiswa dari universitas lainnya yang ia manfaatkan untuk memperluas jaringan sosial.

Asrama jadi hal yang cukup menguntungkan juga tentunya. Sebagai perempuan, ini jadi hal yang bisa membuat ia merasa lebih aman meski tinggal di negeri yang cukup asing baginya. 

Idul fitri pertama di Bangladesh

Ini menjadi pengalaman pertama bagi Mumur untuk merayakan Idul  Fitri jauh dari keluarga. Jika di Indonesia malam Idul Fitri menjadi sebuah perayaan yang sangat meriah dengan kembang api yang mewarnai langit, juga berkumpul bersama teman dan keluarga, di sana ia justru merasa tidak ada yang spesial. Bukan cuma karena jauh dari keluarga, ia merasa tidak ada suasana istimewa saat malam Idul Fitri.

Sebenarnya, kampus nya selalu menghargai setiap agama dan budaya. Malam itu ada sebuah acara di dining hall untuk merayakan malam Idul Fitri dengan muslim lainnya. Tapi ia lebih memilih untuk tidur karena masih cukup sedih untuk momen Idul Fitri pertamanya yang jauh dari keluarga.

Paginya, ia sempat ragu untuk ikut melaksanakan shalat ied ke masjid. Karena, ia pernah dengar kalau Bangladesh melarang wanita untuk sholat ke masjid. Tapi setelah mencari tahu, ternyata ada pengecualian untuk hari-hari besar. Akhirnya ia berangkat ditemani seorang temannya, karena foreigner juga dilarang untuk bepergian sendirian. Menariknya, ia tidak ditemani oleh teman muslim nya, justru ditemani oleh seorang teman yang beragama kristen. 

Budaya silaturahmi selepas solat ied ternyata juga ada di Bangladesh, ia juga sempat diajak oleh seniornya untuk berkunjung ke rumah yang lainnya. Tapi lagi-lagi, ia masih cukup sedih untuk momen itu. Jadi ia hanya menghabiskan waktu Idul Fitrinya berbaring diatas kasur di kamarnya.

Menjadi relawan di kamp Rohingya

Mumur punya seorang teman yang udah jadi relawan tetap di sebuah yayasan yang turut berkontribusi untuk etnik Rohingya. Waktu itu, ia dapat informasi terkait kegiatan relawan selama satu minggu dengan penempatan di Dhaka yang akan mendampingi anak jalanan dan di perbatasan Bangladesh di kamp Rohingya. Dengan alasan ingin turut mengambil bagian dengan sebuah etnik yang saat itu mata dunia tertuju pada mereka, ia memutuskan untuk menjadi relawan di kamp Rohingnya. Ia mengaku ingin melihat dan memahami secara langsung kondisi mereka.

Perjalanan dari kampus menuju kamp rohingnya yang berada di perbatasan Bangladesh dan Myanmar setidaknya memakan waktu hingga delapan jam. Ia berangkat bersama dua orang temannya yang berasal dari Myanmar. Awalnya ia harus pergi ke suatu meeting point dengan sebuah bus yang cukup tua selama empat jam, dilanjutkan empat jam perjalanan dengan sebuah mobil kecil menuju kamp.  Ada rasa khawatir saat di perjalan menuju kamp, tidak hanya karena mereka hanya bertiga dan semuanya adalah perempuan, tetapi juga check point yang sangat banyak dengan pemeriksaan yang cukup ketat membuat ia cukup khawatir. Tapi bersyukur semuanya berjalan dengan begitu lancar.

Berhasil sampai ke kamp, bukan berarti rasa khawatirnya hilang begitu saja. Seniornya yang juga pernah menjadi relawan di kamp itu sempat mengatakan bahwa para pengungsi bukanlah orang berpendidikan dan mereka cenderung agresif saat melihat orang asing. Belum lagi melihat fakta bahwa kamp ini cukup ekstrim menimbulkan kekhawatiran lain tentang tempat di mana ia akan tinggal selama satu minggu kedepan. 

Di kamp, ia dan dua temannya melakukan beberapa aktivitas untuk membantu para pengungsi, seperti mengajar anak-anak di sekolah misalnya. Beruntung temannya adalah orang Myanmar, sehingga ia bisa tetap berkomunikasi dengan bantuan dari keduanya. Selain itu, ia juga membantu untuk memasak di dapur, membagikan makanan, serta berkumpul di pusat pemberdayaan wanita untuk bercerita bersama para wanita disana. Tapi, hal yang paling sering dilakukan selama menjadi relawan adalah mengajar, membantu di dapur, dan membagikan makanan.

 

Menjadi relawan di kamp Rohingya ini tentunya menjadi pengalaman yang cukup berharga bagi Mumur, tidak hanya untuk bersyukur atas kehidupan yang dijalani, tapi juga membantu dia untuk bisa lebih peduli terhadap sekitar.

Meskipun ia akhirnya memutuskan untuk belajar di suatu negara yang cukup asing dan tidak begitu populer, tapi ada banyak sekali hal yang bisa ia pelajari selama di sini. Terakhir, Murmur berpesan, “Kalau kamu tertarik kuliah di sini, silahkan riset dulu. Kalau kamu yakin, kuatkan tekadmu. Ini nggak akan jadi sebuah perjalan yang mudah, tapi kamu akan belajar banyak di sini.”

Nah, itu dia kisah Mumur saat studi dan menjadi relawan di kamp Rohingya di Bangladesh. Sangat menginspirasi kan sobat KP. Semoga kamu juga, ya. Kami tunggu cerita dari mu!