Kuliah Perfilman di Paris

            Prancis adalah negara dengan sejuta pesona dan daya tarik. Tidak heran, banyak orang memilih negara ini sebagai salah satu destinasi impian, baik untuk sekadar melancong, menetap, atau untuk melanjutkan studi. Salah satunya, Alfara Justiciabel, yang akrab dipanggil Fara. Kak Fara adalah mahasiswa jurusan Film & TV Program di 3iS Paris. Seperti apa, ya, kira-kira perjalanan kak Fara untuk bisa menuntut ilmu di The City of Light?

            Semasa SMK, kak Fara mengambil jurusan Multimedia. Di sekolah, dia sudah cukup familiar dengan dunia perfilman, karena sering membuat short film. Ia juga mengaku memang telah berencana untuk memasuki jurusan perfilman ketika kuliah dan berniat untuk menuntut ilmu ke luar negeri. Ditambah lagi dengan dukungan penuh dari ibu yang membuatnya semakin mantap, “Ibu aku pengen banget aku kuliah di luar negeri. Mumpung ada uangnya, tuntut ilmu sejauh mungkin” tutur kak Fara

Kenapa Prancis?

            Bicara tentang kuliah perfilman, memang ada beberapa negara selain Prancis yang juga memiliki universitas yang unggul di bidang perfilman. Kak Fara pun mengaku, pada umumnya, teman-temannya yang ingin melanjutkan studi di bidang perfilman ke luar negeri, akan langsung memilih US atau Kanada, yang lebih terkenal dan banyak peminatnya di Indonesia. Meskipun begitu, kak Fara memantapkan hatinya untuk belajar ke Prancis, yang ia rasa lebih cocok dengan preferensinya. 

“Aku cari pilihan yang affordable dan realistis. Di luar negeri yang affordable itu ada dua, Prancis sama Jerman. Tapi, di Jerman gak nerima ijazah SMK dan akan makan waktu lebih lama, karena harus penyetaraan. Jadi, Prancis itu pilihan yang paling pas untuk aku. Selain lebih affordable, style (film) aku memang lebih cenderung ke Europe. Jadi udah cocok banget! Emang jodoh kali, ya, disini?” ujar kak Fara. 

Kuliah ke Paris adalah keputusan last minute.

         Meskipun sudah berencana untuk kuliah di luar negeri, kak Fara baru memantapkan hatinya saat menginjak semester dua di kelas XII. “Keputusan aku ke Prancis agak-agak telat. Kelas XII semester dua baru bener-bener mantep banget (untuk kuliah ke Prancis). Bahkan aku masih ikut SNMPTN! Sampe rencana ikut SBMPTN juga. Aku masih ada kepikiran buat kuliah di Indonesia, gitu. Terus akhirnya pas udah detik-detik mau lulus, baru kayak, “okelah ke Prancis!”. Aku akhirnya gap year dulu setahun untuk belajar bahasanya.” 

Standar untuk kuliah perfilman, apa aja sih?

            Standar kemampuan berbahasa Prancis yang wajib dimiliki jika ingin melanjutkan studi ke Prancis adalah B2. Namun begitu, ada beberapa jurusan yang mengharuskan kita untuk menguasai bahasa Prancis level C1, bahkan sampai level tertinggi, yaitu C2. Di jurusan perfilman, level yang diminta bervariasi tergantung instansi. Kak Fara sendiri mengikuti program setara D4 dengan masa kuliah tiga tahun, yang umumnya cukup dengan mengantongi sertifikat DELF B2. “Untuk yang aku liat sih, program setara D3 itu banyak yg minta C1, bahkan ada juga yang minta C2. Ternyata, D3 audio visual itu selektif banget; per tahunnya cuma nerima enam sampai sepuluh mahasiswa baru. Makanya mungkin mereka kualifikasinya tinggi” tutur kak Fara.

            Tidak hanya kemampuan berbahasa Prancis, bidang studi yang ditekuni sebelumnya pun dapat menjadi salah satu pertimbangan. “Aku sempat tanya-tanya ke Campus France di IFI dan memang dianjurkan untuk ambil jurusan yang selaras. Karena akan dilihat dari motivation letter; ada atau gaknya pengalaman dan passion di bidang itu. Tapi, ada juga temen aku yang bener-bener ‘banting setir’, kaya salah satu guru bahasa Prancis aku. Dulu dia S1 ambil Bahasa Prancis, lalu dia S2nya ambil environmental science. Itu kan lumayan jauh dan agak gak nyambung. Jadi, sepenglihatanku, asal kita bisa nunjukin passion kita di bidang yang kita tuju di motivation letter, kayanya mungkin aja. Karena motivation letter itu bisa jadi penentu banget!” ujar kak Fara.

Seperti apa sistem perkuliahan di jurusan Film and TV Program di 3iS, Paris?

            Di kampus kak Fara, mata kuliah disuguhkan dalam bentuk paket, sehingga mahasiswa tidak perlu memilih. “Tapi, (resikonya) kalau ada satu atau dua mata kuliah yang gak lulus, bisa disuruh mengulang setahun. Kayak SMA aja. Jadi gak bisa mengulang satu mata kuliah aja. Pertanyaannya cuma lulus atau ngga ke tahun berikutnya” jelasnya. 

            Pada umumnya, ada dua jenis pendekatan jika bicara tentang perfilman. Pertama, yang lebih mendalami teori dan kajian, yang biasanya ada di universitas negeri. Pendekatan ini dikhususkan untuk yang ingin menjadi kritikus, penulis, atau profesi sejenisnya. Kedua, yang dilatih untuk menjadi kru yang terjun langsung ke lapangan. Pilihan kak Fara jatuh pada pendekatan kedua. “Aku ambil yang itu (kru). Jadi kuli, lah, istilahnya! Itu bener-bener melebihi ekspektasi aku, karena lebih dominan ke praktik. Cape tapi seneng, sih”. Awalnya ia mengira pembelajarannya akan imbang antara teori dan praktik. Namun nyatanya, praktiknya hampir mencapai 80% dari keseluruhan pembelajaran. 

            Pada tahun pertama, mahasiswa akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari semua bidang. Mulai dari cara planning; bagaimana cara jadi produser, cara mengatur bujet, belajar terjun ke lapangan ketika syuting, cara mendirect, memasang dan menempatkan lampu, cara mengedit, sampai ke pemeliharaan equipment. Hal ini dirasa sangat penting bagi kak Fara, karena ia memiliki kesempatan untuk mengenali semua bidang, sebelum memilih spesialisasi pada tahun kedua. “Awal masuk aku pernah nanya ke temen-temen, pengen jadi apa nanti? Biasanya jawab sutradara, karena kita lihatanya jadi sutradara enak; dia leadernya, bisa nentuin ini dan itu. Tapi, setelah kita bener-bener terjun (ke lapangan) jadi tahu, ternyata sutradara kerjaannya berat. Kita jadi tahu resiko dan bisa nimbang-nimbang lagi mana yang cocok.”

            Di tahun kedua, pembelajaran yang diterima sudah lebih spesifik. Berbeda dengan program reguler yang memiliki banyak pilihan, Kak Fara yang mengambil kelas internasional, hanya memiliki dua opsi. “Spesialisasi ada yang untuk jadi produser, sutradara, editor, sinematografer, bahkan ada yang peminatan jurnalistik. Tapi karena aku kelasnya internasional, jadi pilihannya cuma jadi produser atau sinematografer.” 

            Setiap akhir semester di kampus kak Fara, mahasiswa diminta membuat proyek akhir. Tugasnya pun berbeda di tiap semester. Pada semester pertama, ia diminta membuat film dokumenter pendek, sedangkan untuk semester kedua, ia dan teman-temannya diminta untuk membuat film fiksi pendek. Di tahun kedua ini, mereka ditugaskan untuk membuat serial Netflix. Saat ditanya tentang proyek untuk syarat kelulusan, kak Fara mengaku belum tahu tugasnya seperti apa. 

“Aku gak tahu projectnya apa. Aku pernah lihat project kakak kelas di tahun ketiga. Intinya sama kaya project di tahun pertama; disuruh bikin film fiksi. Tapi, hasilnya beda banget. Equipmentnya udah dikasih yang lebih bagus, aktornya juga lebih pro. Jadi kayaknya, kita lebih dilihat perkembangannya; selama ini udah belajar apa aja? Apa aja yang kalian dapat? Ada perkembangan, gak, dari cara kalian bikin film? (Proyek akhir) gak harus selalu lebih susah. Aku sih ngeliatnya gitu.”

Tantangan selama kuliah

            Masa berkuliah tentu saja tidak selalu berjalan tanpa hambatan. Bagi kak Fara, Bahasa Prancis masih menjadi tantangan untuknya. Sebelum berangkat ke Prancis, ia hanya memiliki waktu enam bulan untuk menguasai bahasanya. “Untuk level on paper, level B2 dapet. Tapi, kan gak menjamin skills in real life; buat ngomong sama orang Prancis dengan bahasa gaulnya mereka, istilah-istilah yang aku gak pernah tahu selama di Indonesia, dan dengerin dosen yang kadang jadi tantangan juga untuk beberapa mata kuliah teori” jelas kak Fara. 

            Hal ini tentu berbeda dengan mata kuliah praktik. Dosen dapat memperagakan secara langsung jika penjelasannya kurang dimengerti para mahasiswa. Ditambah lagi saat lockdown, ketika ia dan teman-temannya harus kuliah daring. Apalagi saat harus mendengarkan penjelasan dalam bahasa asing. “Itu sih challenge utamanya, berusaha untuk dengerin kuliah online pake Bahasa Prancis.” 

            Tidak hanya di bidang akademik, di lingkungan pertemanan pun kita harus bisa beradaptasi. Kak Fara mengaku bahwa ia merasa harus lebih aktif untuk mencari teman dan harus pintar baca situasi. Ia menceritakan pengalaman pribadinya saat mencoba menambah kenalan baru di kampusnya,

“Dulu aku semester pertama itu di program full bahasa Prancis. Beberapa hari pertama, aku coba buat punya satu kenalan baru setiap harinya, biar nanti bisa saling kontak saat butuh. Sama international studentsnya rata-rata berhasil, walaupun gak jadi temen. Suatu waktu, aku ajak kenalan teman sekelasku yang orang Prancis di halte. Ternyata, arah pulang dan bus yang kita pake ke kampus sama. Besoknya, aku lihat dia di bus, tapi gak sempat aku sapa. Waktu dia lihat aku, dia turun di satu halte sebelum halte kampus. Kejadiannya berulang; dia selalu kayak menghindar dari aku. Suatu hari, aku nyapa dia tapi dia gak nyapa balik dan malah buang muka. Dari situ aku baru nangkep, “oh, berarti dia gak mau temenan sama aku”. Awalnya aku bingung, tapi lama-lama jadi ngerti dan mikir. Mungkin dia kurang bisa bahasa Inggris; takut ribet temenan sama aku, karena kadang kalo udah mentok, aku suka jelasin sesuatu pake bahasa Inggris. Mungkin dia takut gak bisa jadi temen yang baik.” pungkas kak Fara.

            Jadi, gimana, sobat KP? Setelah menyimak cerita kak Fara, makin tertarik untuk melanjutkan studi ke Prancis, gak?