Cancel Culture, Pemboikotan Massal Berkedok Sanksi Sosial yang Juga Menyasar Travel Blogger

Cancel culture adalah salah satu budaya yang menakutkan. Pasalnya, budaya ini menuntut orang harus serba sempurna.

Trend ini sering menimpa publik figur ataupun tokoh yang dianggap melanggar aturan atau norma dalam masyarakat. Namun, bukan berarti orang biasa gak bisa terkena hal ini.

Istilah ini makin popular ketika beberapa idola K-Pop terkenal tersandung sebuah skandal. Banyak orang menaikkan tagar di media sosial untuk memboikot pelaku dari masyarakat dan industri hiburan.

Lantas, apa sih, sebenarnya cancel culture itu?

Foto/Pixabay.com

Mengutip dari Cambridge dictionary, cancel culture adalah perilaku masyarakat ataupun kelompok, di media sosial untuk sepenuhnya menolak dan berhenti mendukung seseorang.

Pemboikotan dapat terjadi, karena mereka telah mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyinggung kelompok masyarakat tersebut.

Pola pemboikotan yang diterima dapat beragam. Hal ini tergantung di mana dan kepada siapa pemboikotan itu ditujukkan.

Pada publik figur di Korea, misalnya, mereka akan menerima pemboikotan seperti pembatalan kontrak iklan berikut pinalti, ditolak untuk tampil di televisi, hingga tidak diterima kembali dan dikeluarkan dari agensi.

Bahkan, budaya ini bisa makin parah dan merenggut korban jiwa. Apabila masalahnya sudah berhubungan dengan ras ataupun kelompok agama, seperti kasus Rohingnya di Myanmar.

Beda Gaya Cancel Culture di Berbagai Negara

Foto/뉴스인스타 Wikimeda commons

Upaya pemboikotan di tiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Tergantung pada norma dan nilai yang dijunjung. Berikut adalah beda gaya cancel culture dari negara di Asia hingga Amerika:

  1. Korea Selatan

Bagi pecinta K-Pop pasti udah gak asing dengan budaya cancel culture terhadap artis yang terkena skandal. Karier yang dibangun sejak bertahun lamanya dapat runtuh, karena sebuah masalah. 

Apalagi kalau skandalnya gak bisa ditolerir dan melanggar norma sosial. Misalnya, kasus perundungan di masa sekolah, perilaku tidak menghormati rekan kerja, penyalahgunaan obat terlarang, bahkan hingga ke arah yang lebih pribadi seperting dating

Mengutip dari South China Morning Post, Professor Song Jae-Ryong dari Universitas Kyung-Hee mengatakan bahwa orang Korea sangat menjunjung tinggi norma sosial dan etika. Selain itu, selebritas dinilai mampu memberikan dampak sosial yang besar dari tindakannya.

Inilah yang menyebabkan mengapa selebritas di negeri ginseng tersebut dituntut untuk serba sempurna. Pasalnya, masyarakat menaruh harapan lebih bagi seseorang yang dinilai memiliki pengaruh dan banyak pengikutnya. 

  1. Cina

Gak jauh berbeda dengan Korea Selatan, budaya cancel culture di Cina juga kerap menimpa para selebritis di sana. Sayangnya, para selebritas ini bukan cuma bisa terkena pemboikotan karena  melanggar norma sosial.

Mengutip dari thediplomat.com, artis Zhang Zhehan diboikot massal oleh netizen, karena unggahanya di media sosial saat mengunjungi kuil di Jepang. Ini menjadi hal yang sensitif mengingat kuil tersebut adalah kuil penghormatan tentara Jepang yang gugur dalam perang dunia dua.

Jika berkaca pada sejarah, ini bertepatan dengan peristiwa Jepang yang melakukan invansi ke Cina. Akibat hal ini media sosialnya pun dibekukan. 

  1. Amerika Serikat

Di Amerika sendiri, budaya pemboikotan ini sudah dikenal sejak tahun 1980. Meskipun tidak terang-terangan disebut dengan istilah cancel culture

Mengutip dari Pew Research Center, istilah cancel culture mulai dikenal karena banyaknya penggunaan istilah dalam film dan tv. Hingga akhirnya istilah ini dikenal luas di media sosial.

Dalam penelitiannya, Pew Resecah Center mengemukakan bahwa, sebanyak 49% orang Amerika mendefinisikan bahwa perilaku pemboikotan ini didasari pada akuntabilitas pelaku atas perbuatannya.

Umumnya, masyarakat akan meminta pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh tokoh ataupun selebritas yang dinilai melakukan pelanggaran norma. 

Pemboikotan yang Menimpa Travel Blogger

Foto.Pixabay.com

Upload foto wisata bisa aja menyebabkan kamu kena cancel culture di media sosial. Nah, kira-kira kenapa ya?

Mengutip dari goodsavethepoints.com, berwisata di masa pandemi seperti ini dianggap sebagai sebuah keuntungan. Di tengah sejumlah kebijakan guna memutus rantai penularan pandemi, kamu gak bisa sembaragan untuk jalan-jalan. 

Apalagi sampai punya tujuan pamer untuk upload di sosial media. Banyak orang yang bakal mengecam, karena perilaku tersebut dinilai sebagai sebuah perilaku yang menyimpang.

Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah travel shaming. Di mana para traveler akan menyembunyikan foto perjalannya, karena takut dipermalukan di media sosial. 

Apakah Cancel Culture termasuk Sanksi Sosial?

Foto/Pixabay.com

Setiap perbuatan memiliki balasan, baik berupa penghargaan atau hukuman. Entah itu, karena sebuah kesepakatan ataupun balasan tidak tertulis yang sudah ada dalam masyarakat.

Sejatinya budaya pemboikotan ini dapat mengarah pada kontrol sosial yang positif, jika diterapkan secara baik. Pemberian sanksi sosial terhadap perbuatan menyimpang akan memberikan efek jera bagi pelaku.

Selain itu, perubahan sosial juga dapat terjadi sehingga menciptakan tatanan sosial yang lebih baik dan sesuai dengan norma yang ada. 

Dampak Negatif Penghakiman Massal dari Cancel Culture

Foto/Pixabay.com

Sayangnya, mengutip dari psychology today, kebanyakan dari praktik pemboikotan ini memberikan dampak yang negatif.

Di media sosial, saat orang dianggap melakukan kesalahan mereka akan menerima banyak hujatan. Pemboikotan yang dilakukan dengan ancaman kriminal, pelanggaran privasi, bahkan ancaman bunuh diri adalah hal yang salah.

Hal ini tidak akan menciptakan perubahan sosial ke arah positif. Intimidasi dan perilaku perundungan di ruang publik justru akan memberikan perasaan kesepian dan terisolasi.

Lebih buruk lagi, mengutip dari verywellmind.com dalam sebuah penelitian yang berjudul Loneliness in the general population: prevalence, determinants and relations to mental health karya Beutel ME, Klein EM, Brähler E, et al (2017), perasaan kesepian mampu meningkatkan rasa kecemasan, depresi, dan keinginan bunuh diri.