Seberapa jauh kamu harus meng-scroll linimasa sampai kau menemukan sebuah unggahan tipikal yang kita semua kenal; seorang pemuda/pemudi tersenyum ke arah kamera dengan entah destinasi wisata mana terpampang jelas di latar belakang? Instagram dan Facebook rasa-rasanya selalu dipenuhi dengan foto travelling, entah dari influencer yang kita follow atau sesama teman atau keluarga kita. Dari foto amatir dengan bantuan tongsis hingga photoshoot professional seharga jutaan rupiah, sosial media kita dipenuhi dengan berbagai destinasi wisata eksotis dengan editan estetis yang menumbuhkan wanderlust atau keinginan bepergian kita.
Apa itu Wanderlust?
Berasal dari bahasa Jerman, wander yang artinya berkelana dan lust yang artinya nafsu, secara harafiah berarti nafsu untuk berkelana, atau lebih tepatnya keinginan untuk bepergian. Keinginan untuk travelling ini adalah sesuatu yang lebih dari hanya ingin beristirahat dari kesibukan sehari-hari. Wanderlust ini juga didorong oleh keinginan dari dalam diri untuk berpetualang, mengembangkan diri dan menemukan diri di tengah situasi asing yang penuh akan tantangan.
Tanda-tanda kamu memiliki wanderlust adalah ketika kamu selalu berpikir untuk berpergian, secara konstan memikirkan trip yang akan kamu ambil berikutnya. Jiwa petualangmu tidak bisa dikekang dan travelling jadi sesuatu yang hitungannya wajib dalam hidupmu. Tanpa travelling, hidup rasanya tidaklah cukup.
Media sosial dan rasa iri hati
Budaya travelling kita telah mengalami perubahan yang besar di era globalisasi ini. Informasi yang lebih mudah didapatkan membuka lebih banyak kemungkinan bagi berbagai macam turis untuk mengunjungi berbagai macam destinasi yang ada. Fitur geotag di Instagram, dimana kita bisa menunjukkan secara langsung tempat dimana foto kita diambil, meningkatkan popularitas tempat-tempat yang dahulu dianggap sebagai hidden gems atau permata tersembunyi. Anti-mainstream is the new mainstream, dan satu per satu semua orang berlomba untuk mengunjungi destinasi unik yang masih minim pengunjung.
Dan di sinilah budaya media sosial yang baru terbentuk. Para sobat KP tentunya pernah mengalami sebuah keadaan dimana kalian melihat sebuah foto dan tergiur untuk pergi ke tempat tersebut, mengambil foto yang serupa dan mengunggahnya ke akun media sosial sendiri. Sebagai mahkluk sosial, rasa iri hati yang muncul tentunya adalah sesuatu yang sangat normal. Keinginan untuk membandingkan diri adalah sesuatu yang amat manusiawi. Ketika melihat orang-orang berpetualang kita pun terdorong untuk melakukan hal yang serupa.
Rasa iri hati yang muncul tidak semerta-merta menandakan sesuatu yang buruk. Rasa iri hati ini bisa menjadi sebuah dorongan bagi kita untuk mengambil tantangan dan keluar dari zona nyaman kita. Lantas kapan hal ini berubah menjadi sesuatu yang toxic?
Stereotip turis selama berlibur
Kalian pasti kenal tipe teman atau keluarga yang selama berlibur selalu siap berpose tiap menit. Modernisasi dan kamera telepon genggam yang tiap tahunnya makin mumpuni mengubah perilaku turis selama berlibur. Kebanyakan orang semakin terobsesi dengan mengabadikan tiap momen liburan mereka. Dari tipikal tante-tante dengan jaket terang dan topi lebar yang mengunggah ratusan foto liburan di facebook, hingga anak muda berjiwa influencer yang sangat spesifik dengan pengambilan angle foto dan pose, stereotip-stereotip baru mulai bermunculan di antara para turis yang berlibur.
Yang pertama khas babyboomer. Tidak begitu peduli dengan kualitas foto, bahkan lebih tertarik untuk mengambil foto di manapun dan kapanpun, tidak peduli jika latar belakang hanyalah tiang listrik biasa ataupun objek yang memang dicari banyak orang; yang terpenting adalah segala hal yang terlihat berbeda dan bukan Indonesia, agar mereka bisa bercerita ke sesama teman di Indonesia bahwa mereka berada di entah Eropa, Asia atau tanah asing lain.
Yang kedua sangatlah gaya millennials; selalu menggunakan bokeh ketika mengambil foto dengan wajah dan diri mereka terpampang jelas di fokus. Misalkan berada di Paris, walau Menara Eiffel terlihat samar di background, yang tidak kalah pentingnya adalah outfit, pose, (atau bahkan makeup) mereka. Foto bisa berjumlah ratusan di camera roll mereka, namun hanya beberapa yang berakhir diunggah di Instagram, tentu saja setelah dibubuhi berbagai filter dan di-edit sedemikian rupa dengan tambahan caption yang manis di akhirnya.
Tentu saja ini hanya penggambaran kasar dan tidak semua turis berlagak demikian. Namun, satu hal yang pasti adalah obsesi orang-orang untuk mengambil foto ketika travelling. Mungkin motivasi mereka hanyalah untuk mengingat masa-masa indah yang dijalani, namun tidak sedikit juga yang sengaja melakukan ini untuk pamer. Di sinilah ketika budaya travelling dan sosial media bersatu menjadi sesuatu yang toxic, ketika rasa iri hati yang mendorong travelling melahirkan keinginan besar untuk pamer.
“Kalau belum mengambil foto dan diunggah, rasanya seakan-akan kita belum pergi ke sana.”
Kutipan di atas adalah sesuatu yang penulis pernah dengar secara langsung. Bukan berarti mengambil foto adalah sesuatu yang salah. Ketika kalian mengambil satu dua foto ketika berlibur bersama keluarga, atau ketika fotografi memang menjadi hobi, tentu saja hal ini sangat dimaklumi. Namun cobalah kalian renungkan. Apakah kalian lebih fokus untuk mendapatkan foto yang “perfect” ketimbang menikmati tempat yang kalian kunjungi? Apa kalian pernah mengunjungi sebuah tempat, berfoto sesaat dan segera pergi ke destinasi selanjutnya dengan dalih “yang penting udah foto”? Apakah mengambil foto saja sudah cukup, atau kalian belum merasa puas sampai foto tersebut diunggah di sosial media?
Tentu saja mengunggah foto ke sosial media bukanlah hal yang amat keji. Semua orang tentu ingin mengabadikan momen dan sosial media jadi tempat yang termudah untuk melakukan ini. Namun ketika kita merenung dan kembali kepada pertanyaan pertama, sesungguhnya apa motif travelling kita yang sesungguhnya? Apakah karena wanderlust, atau karena kita juga tidak mau kalah dengan para influencer di sosial media dengan foto-foto estetis mereka? Apakah kedua alasan tersebut bercampur menjadi satu, atau motif yang satu lebih penting dibandingkan yang lainnya? Apakah kita berlibur murni karena jiwa petualang kita, atau hanya karena ingin pamer?
Ditulis oleh Stephanie Tanus
Ilustrasi oleh Jessica Wonges