Oleh: Annisa Sarah
Halo! Perkenalkan, nama saya Sarah, saat ini saya lagi menunggu keberangkatan ke Norwegia untuk melanjutkan studi S3 (doktoral) di University of Stavanger. Sebelumnya, saya pernah mengambil studi S2 di KTH Royal Institute of Technology, Swedia (2015-2017), dan S1 di Universitas Telkom (2010 – 2014). Setelah lulus S2 saya sempet kerja sebagai dosen di jurusan Teknik Elektro di salah satu universitas swasta di Jakarta.
Nah, saya ingin menceritakan alasan-alasan kenapa saya selalu memilih negara-negara di Skandinavia untuk menempuh studi. Awalnya, ada satu pertanyaan besar yang muncul saat saya menjalani tahun ketiga perkuliahan S1 dulu, pertanyaannya adalah:
“Kenapa ilmu yang didapat selama S1 dan yang dibutuhin di lapangan kayaknya beda banget?”
Waktu itu saya coba banyak diskusi dengan banyak kalangan, seperti kakak tingkat, para alumni dan dosen. Saat itu saya menyimpulkan bahwa knowledge gap yang ada di kampus dan di lapangan kerja disebabkan oleh sistem pengajaran akademik yang jarang melibatkan para praktisi sehingga mahasiswa menjadi minim exposure terhadap kasus-kasus praktis di dunia nyata. Ibaratnya, ilmu yang diberikan kepada para mahasiswa hanyalah sebuah toolbox, tanpa pernah diceritakan bagaimana menggunakan toolbox tersebut di dunia luar. Knowledge gap tersebut juga cukup meresahkan para pelaku industri karena umumnya ilmu para freshgraduate belum mumpuni untuk langsung bekerja. Ketimpangan itulah yang menjadi inspirasi saya untuk menjadi dosen dengan harapan bisa membawa masalah-masalah praktis nan industrial ke dalam ruang kelas. Selain menjadi dosen, saya juga ingin menjadi konsultan di sektor telekomunikasi dan membantu pemerintah dalam perjuangannya untuk menyetarakan akses telekomunikasi di Indonesia. Dari sini saya sadar bahwa saya butuh S2 (juga S3 nantinya), karena saya ingin berkarir di dunia akademik.
Lalu, mengapa Skandinavia?
Suatu hari saya membaca konsep Triple Helix, yaitu suatu pendekatan pengembangan inovasi yang berpusat pada integrasi antara pemerintah, industri dan akademik. Saya ingin mempelajari hal itu lebih dalam, dan mencoba mencari negara yang menerapkan konsep triple helix, dengan harapan bisa menerapkan konsep tersebut untuk perkembangan inovasi riset di Tanah Air. Ternyata, negara-negara di Skandinavia ternyata terkenal akan implementasi triple helix-nya. Mereka memiliki ekosistem yang mendukung perkembangan inovasi (Swedia menempati posisi kedua dalam ranking The Most Innovative Countries). Selain itu, Skandinavia juga terkenal memiliki pendidikan yang bagus (terutama Finlandia). Lingkungan bekerja di Skandinavia sangat egaliter, tidak rasis dan juga ramah kepada para pendatang. Kemudian, ibu kota negara-negara skandinavia juga tidak crowded kayak ibu kota kita, Jakarta. Mereka banyak mendapatkan prestasi sebagai happiest countries in the world (WHI 2021: Finlandia nomor 1, Denmark nomor 2, Norwegia nomor 6, Swedia nomor 7), siapa yang tidak mau tinggal di negara-negara paling berbahagia?
Saat saya sampai di Swedia dan tinggal disana, saya merasa bahwa kehidupan saya di Swedia itu seperti mimpi. Semua bayangan saya benar adanya (Sistem pendidikan yang sangat baik serta terintegerasi dengan pemerintah dan industri, lingkungan yang nyaman dan sepi bahkan di ibu kota sekalipun, healthcare dan education service yang ditawarkan oleh pemerintah juga oke banget). Sebagai contoh, saat saya S2, beberapa mata kuliah dibawakan dengan konsep team-teaching dan tim dosennya merupakan gabungan dari professor, pelaku bisnis, dan pemerintah (kayak Kominfo nya Swedia gitu). Riset-riset yang dilakukan juga hasil kolaborasi industri, dengan biaya atau support dari pemerintah.
Setelah hidup, sekolah dan memahami work environment di Swedia, saya dapat memahami mengapa Swedia (dan negara skandinavia lainnya) menempati posisi yang tinggi pada World Happiness Index (WHI). Pertama, social security. Untuk para penduduk sana, instead of memikirkan kerja untuk menabung biaya pendidikan anak dan biaya asuransi kesehatan keluarga, mereka bekerja dan menabung untuk perkembangan diri, menjalankan hobi, dan bertamasya. Pajak yang besar tidak masalah, karena dari pajak tersebut biaya sekolah anak-anak dari TK sampai universitas itu gratis, biaya berobat juga gratis. Kemudian, konsep work-life-balanced sangat diterapkan disini. Jarang ada pegawai yang lembur, karena semua sangat efisien dalam bekerja dan mengatur waktu. Umumnya, jam delapan mereka mulai bekerja dan jam empat atau lima sudah selesai. Malam dan weekend adalah waktu untuk keluarga. Mereka juga sangat mengutamakan kesehatan keluarga dan hidupnya. Sebagai contoh, jika tiba-tiba anak sakit maka seorang pegawai membatalkan meeting merupakan hal yang sangat wajar, karena pegawai tersebut harus segera menjemput anak di sekolah.
Hal-hal ini yang membuat saya jatuh cinta dan selalu ingin kembali ke Skandinavia. Saya memutuskan untuk mengejar studi S3 hanya ke negara-negara tersebut. Saya mencoba subscribe job advertisement portal untuk universitas-universitas di Swedia, Norwegia, Finlandia. Pertimbangan utama ialah karena saya sudah berkeluarga, memiliki anak perempuan berusia 2 tahun dan juga akan membawa suami. Saya perlu mencari negara yang ramah keluarga, memiliki pendidikan yang baik, ekosistem alam yang baik, social security yang baik, dan memberikan kompensasi yang mumpuni untuk berkeluarga. Perlu diketahui bahwa S3 di negara-negara Skandinavia pada umumnya dijalankan dengan skema employment, jadi kita bukan lagi dianggap sebagai student tapi di Norwegia sendiri kita dianggap sebagai research fellow dan tipe izin tinggal yang akan dikantongi ialah izin tinggal sebagai skilled-worker, bukan student. Kita dianggap sebagai pegawai, kita juga diberikan gaji bulanan, semua itu bisa membuat kita lebih fokus dalam menjalankan studi tanpa harus memikirkan nabung-nabung dan pusing cari pemasukkan tambahan untuk tinggal bersama keluarga disana.
In summary, Scandinavian countries feels like a heaven to work & raise a family. Hal itu disebabkan oleh lingkungan dan regulasi yang sangat mendukung.
Jadi, apakah kalian tertarik untuk mencoba tinggal di Skandinavia?